Pemerintah Harus Dukung Infrastruktur Pendidikan Vokasi Air Minum

Pemerintah saat ini telah mengeluarkan Perpres Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang diikuti dengan keluarnya Kepmenaker Nomor 139 tahun 2010 tentang SKKNI Jabatan Kerja Manajemen Air Minum, Kepmenaker Nomor 422 Tahun 2014 tentang SKKNI untuk Produksi dan Distribusi SPAM yang mengatur teknis PDAM dan terakhir terbit Kepmenaker  Nomor 457 Tahun 2015 tentang Pengembangan Bisnis, Keuangan dan Pengamanan Air Minum.

Satelah keluarnya Kepmenaker tersebut, kemudian Kementerian PUPR mengeluarkan Peraturan Menteri PUPR Nomor 10/PRT/ M/2016 tentang Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang Pengelolaan SPAM selaku penanggung jawab teknis yang memberlakukan KKNI. Aturan tersebut  mengharuskan semua pengelola SPAM mulai dari level direksi hingga tenaga kerja yang menangani unit air baku, produksi, distribusi, penurunan kehilangan air, pelayanan pelanggan, organisasi dan tata kelola, serta administrasi umum, wajib memiliki sertifikasi. Berbagai peraturan tersebut dikeluarkan untuk meningkatkan kompetensi SDM dalam rangka persaingan global.

Dampak dikeluarkannya peraturan tersebut, akan ada ratusan jabatan atau ahli  yang harus disertifikasi dalam penyelenggaran SPAM. Sertifikasi terbanyak khususnya di tingkat operator, seperti ahli pipa, ahli pembubuhan, ahli mekanikal dan sebagainya.

Minimnya Pendidikan Vokasi

Menurut Ketua LSP-AMI Ir. Agus Sunara, sesuai Perpres Nomro 8 Tahun 2012 tentang KKNI, ada sembilan jenjang kompetensi yang dibagi dalam tiga kelompok. Jenjang pertama hingga ketiga dikelompokkan menjadi jabatan operator, jenjang empat sampai enam dikelompokkan menjadi jabatan teknis dan analis serta jenjang tujuh hingga sembilan dikelompokkan dalam jabatan ahli.

Untuk jenjang jabatan teknis dan analis, kata Agus, terdapat lembaga pendidikan formal di berbagai universitas yang mendukungnya. Banyak universitas yang membuat program studi bidang teknik lingkungan yang berhubungan dengan air. Beberapa tahun terakhir, beberapa universitas seperti ITB, Trisakti, Sahid, Bakrie dan juga ITS telah membuat jurusan khusus, soal air dan limbah. Untuk  ahli manajemen, terdapat lembaga diklat YPTD-Pamsi yang rutin menyelenggarakan diklat tingkat muda, madya dan utama.

Yang menjadi persoalan adalah jenjang operator yang kaitannya dengan pendidikan vokasi. Keinginan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kompetensi akan sia-sia jika  tidak diikuti dengan pembangunan infrastruktur pendidikan vokasi bidang air sebagai pemasok tenaga terampil bagi industri air. Saat ini tercatat hanya satu lembaga pendidikan vokasi di Indonesia, yaitu Akatirta di Magelang. Selebihnya hanya diklat atau pelatihan singkat selama seminggu atau sebulan soal teknis yang diadakan pemerintah atau swasta.

Menurut Agus, saat ini jumlah pendidikan vokasi yang didirikan pemerintah atau swasta hampir tidak ada. “Kalau kita lihat ada banyak Sekolah Teknik Menengah (STM) penerbangan, pelayaran, mesin dan sebagainya. Tidak ada STM atau SMK pengelolaan air misalnya. Dulu kebanyakan pegawai PDAM yang masuk dari STM sipil yang saat ini sudah tidak ada. Itupun sifatnya umum soal teknik sipil bukan spesifik bidang  air,” kata sosok yang juga Tenaga Ahli PERPAMSI.

Dikatakan, pendidikan vokasi untuk tingkat operator ini penting. Mengingat bisnis inti PDAM yaitu produksi, distribusi dan pelayanan pelanggan dasarnya adalah pendidikan vokasi. Selain itu, jika melihat sebagian jenjang jabatan dalam KKNI, sebagian besar pegawai PDAM masuk dalam kelompok operator, yang saat ini hampir sebagian besar belum tersertifikasi. “Bisa dibayangkan selama ini pelayanan air minum yang menjadi kebutuhan dasar manusia berjalan tanpa adanya standar kompetensi,” tambahnya.

Pendidikan vokasi ini penting, mengingat langsung bisa terserap oleh industri atau pasar. Kebanyakan yang terjadi saat ini, pegawai PDAM banyak yang  tidak sesuai dengan kompetensinya. Dan ini hampir terjadi di semua bagian. Sehingga untuk membuat SDM yang kompeten, butuh investasi biaya untuk pelatihan. Sayangya, investasi PDAM untuk SDM juga masih rendah. Selain tidak peduli soal SDM juga karena keterbatasan anggaran.

Tidak Hanya Berlaku bagi Penyelenggara

Dikatakan Agus Sunara, standar kompetensi ini tidak hanya berlaku bagi para penyelenggara SPAM dalam hal ini PDAM, melainkan juga pembina. Pembina dalam hal ini adalah pemerintah, baik itu kementerian atau dinas yang berada di pusat, provinsi hingga kabupaten atau kota.

“Persoalannya, dari sisi kualitas maupun kuantitas, pembina SPAM yang ada saat ini masih kurang. Persoalan politis terkadang juga membuat pembina yang ada di daerah harus pindah dari satu dinas ke dinas lain. Jikapun ada, pembina yang ada tidak sesuai kompetensinya,” katanya.

Jika fungsi pembina ini berjalan, idealnya PDAM tidak bisa seenaknya dalam menjalankan usahanya. Pembina ini akan menegur atau mengawasi bagaimana PDAM berjalan, baik itu terkait produksi hingga distribusi. Misalnya jika ada PDAM akan membangun IPA baru, pembina dapat bertanya soal efisiensi atau ada tidaknya SDM-nya. “PDAM ini berjalan ibarat pengendara motor yang berada di jalan raya tanpa memilki SIM dan tidak ada polisi yang mengawasinya,” tandasnya. DP