Monolog Anies Baswedan: Tentang Air dan Keadilan Sosial

Menjadi salah satu magnet dalam gelaran Indonesia Water and Wastewater Expo and Forum (IWWEF) 2019 di hari pertama, Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan, memukau seluruh peserta Gala Dinner IWWEF dengan sebuah monolog tentang "Visi Air untuk Jakarta”.

Anies menyatakan, ketika air sebagai sebuah komoditas ditempatkan semata-mata untuk tujuan mendapat keuntungan, itu adalah degradasi. Air sebagai hak asasi manusia, sebagaimana tujuan negara ini dibentuk, harus ditempatkan untuk mencapai tujuan “keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, Anies mengajak seluruh pengelola PDAM agar tidak menempatkan air semata-mata sebagai produk komersial.

Dalam monolog tersebut, Anies, yang mengenakan kemeja batik biru hitam selaras dengan suasana panggung, mengajak seluruh pemangku kepentingan mulai melihat air itu sebagai syarat terjadinya keadilan sosial.

“Sebuah komoditas yang seharusnya tidak kita tempatkan semata-mata sebagai keuntungan, melainkan “Keadilan Sosial” yang hari ini mengalami degradasi. Hari ini, kita tempatkan itu sebagai kegiatan komersial. Komersial dalam artian for profit. Kalau itu terus dilakukan, maka Republik tidak akan pernah mencapai tujuannya. Karena itu, saya ingin mengajak untuk menempatkan penugasan Bapak Ibu dalam urusan air ini sebagai mandat konstitusional. Untuk keadilan sosial,” tegas Anies.

Gubernur DKI Periode 2017-2022 ini menegaskan, semua yang berada di pusat-pusat pengambilan keputusan, ketika melihat peluang mengambil keputusan, akan diuji. Ujiannya, apakah akan mengambil keputusan untuk kepentingan orang banyak, atau untuk kepentingan yang sedikit.

“Usul saya, untuk urusan air, jangan ambil keputusan untuk kepentingan yang sedikit. Urusan yang lain silakan. Kenapa? Karena ini terlalu mendasar untuk kepentingan bangsa kita. Kerjakan itu untuk Republik,” tandas pria kelahiran 1969 tersebut.

Menurut Anies, pengambilan keputusan soal air, apakah untuk kepentingan keadilan sosial, untuk memastikan seluruh masyarakat di wilayah kerja PDAM memperoleh air, akan dicatat dalam sejarah. Ia mengajak para pengelola PDAM tidak mengambil posisi yang salah karena akan tercatat dalam sejarah ke depan.

“Hari ini,  soal air minum, adalah soal yang akan menjadi sejarah. Karena, nanti ini akan terbereskan. Saya berharap, dari forum seperti ini, kita luruskan komitmen itu. Bila itu bisa kita lakukan, rasanya, salah satu hal mendasar untuk masa depan akan terbereskan,” papar Anies.

Dalam pandangannya, salah satu tempat yang sering jadi rebutan di banyak daerah pascapilkada adalah BUMD. Salah satu tempat yang sering jadi rebutan adalah BUMD air minum. Kehadiran pemerintah di pasar adalah untuk memainkan tugas sosial yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan demikian, fungsi pembangunan dapat berjalan. Itulah mengapa ada perusahaan milik pemerintah untuk tujuan keadilan sosial dan menjalankan fungsi pembangunan.

Anies mengingatkan, pendiri Republik Indonesia, yang merupakan kalangan terdidik, dan umumnya berasal dari kalangan mampu, jika mau, bisa mengarahkan tujuan pendirian Negara untuk kepentingan dirinya sendiri. Akan tetapi, para pendiri Republik ini lebih memilih membuat aturan main yang bisa membuat siapa saja memiliki kesetaraan yang menguntungkan semua orang.

“Republik ini didirikan untuk keadilan sosial. Tetapi, untuk membangun itu dibuat mekanisme pasar, iya. Tapi, tujuannya bukan for profit. Tujuan yang ingin dicapai itu sosial. Tetapi, mekanismenya komersial. Karena tujuan kita merdeka, sesungguhnya bukan untuk menggulung kolonialisme. Tujuan kita merdeka adalah untuk menggelar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar Anies lagi.

Infrastruktur mikro perkotaan kurang diperhatikan

Akses atas air, listrik, sanitasi, pembuangan, serta sampah, dalam kacamata Anis Baswedan, adalah infrastruktut mikro, infrastruktur dasar perkotaan. Sayangnya, infrastruktur dasar tersebut justru hampir tidak mendapatkan perhatian serius. Padahal, menurut Anies, sejak Juli 2010, berdasarkan Resolusi  Sidang Umum PBB, air ditetapkan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM). Air menjadi kebutuhan paling mendasar. Tanpa air, orang tidak bisa hidup.

“Tanpa adanya air, tidak terjadi sebuah kota. Tanpa adanya sumber air, tidak terjadi sebuah desa. Di mana pun terbentuknya sebuah desa, atau sebuah kota, terjadi karena adanya air. Mekah itu tidak ada sumber air Zam-Zam. Jakarta tidak akan seperti ini bila tidak ada sungai yang mengalir.  Sebutlah semua kota tradisonal di dunia, semua dimulai dengan air,” papar Anies.

Sejak 10 tahun belakangan, Indonesia memiliki masyarakat urban atau penduduk yang tinggal di perkotaan lebih banyak dari penduduk rural atau yang tinggal di pedesaan. Sayangnya, cara berpikir (pengelolaannya, red.) masih belum berubah. Banyak yang masih berpikir seolah masih tinggal di tempat rural. Kebanyakan masih berpikir, semua orang bisa memiliki sumur.

Ketergantungan pada air sumur masih tinggi. Hampir semua masyarakat di Indonesia bersyukur bisa mendapatkan air dari sumur yang tidak terlalu dalam. Itu membuat kita semua merasa aman soal kebutuhan air. Namun, pada saat kota tengah berekspansi, dan tidak ada orang yang serius memikirkan kesulitan ini, maka muncullah masalah.

Dalam kurun waktu beberapa dekade belakangan, ketika bicara mengenai pembangunan infrastruktur, yang lebih banyak dibicarakan ialah soal infrastruktur ruang ketiga. Jadi, semua lebih banyak bicara mengenai pembangunan infrastruktur ruang pertama, yaitu rumah, lalu infrastruktur ruang kedua, tempat kerja. Kemudian, bicara mengenai infrastruktur ruang ketiga, yakni di antara rumah dan tempat kerja. Hampir semua pembicaraan tentang infrastruktur berfokus pada ruang ketiga, perkantoran, dan lain-lain.

Padahal, menurut Anies, infrastruktur sesungguhnya yang sangat mendasar bagi masyarakat perkotaan adalah infrastruktur mikro. Dalam hal ini, salah satunya adalah soal bagaimana akses kepada air, yang hampir tidak menjadi perhatian serius.

“Jadi, problem yang kita hadapi ialah bagaimana kita melihat persoalan air dalam konteks kota dan dalam prinsip Indonesia. Di Jakarta, kepadatan penduduk tidak memungkinkan lagi setiap orang untuk mendapatkan air dari dalam tanah,” urai Anies.

Warga miskin membayar air jauh lebih mahal

Sebagai pucuk pimpinan di Daerah Khusus Ibukota Negara, Anies mengatakan, provinsi yang dipimpinnya juga tidak bisa melepaskan diri dari persoalan air. 

Menurut Anies, di Jakarta, untuk urusan air, terasa lebih mahal menjadi orang miskin dibandingkan menjadi orang yang lebih mampu. Mengapa? Karena, orang yang tidak mampu dan tidak mendapat akses air perpipaan harus membayar air lebih mahal. Jika terus dibiarkan, maka ketimpangan yang terjadi dalam soal air akan semakin melebar.

“Warga yang miskin dan mereka yang mampu, membayar air dalam angka yang berbeda. Mereka yang mampu, membayar air sekitar Rp120 ribu sampai Rp150 ribu per bulan. Yang tidak mampu dan harus membeli air per jeriken, membayar Rp600 ribu per bulan,” papar Anies.

Dalam persoalan air ini juga, di Jakarta berdasarkan temuannya, banyak warga Jakarta yang mengalami masalah kesehatan. Mereka harus dirawat karena tidak memiliki akses air bersih. Alhasil, ongkos yang ditanggung pemerintah semakin besar. Banyak warga Jakarta yang kesejahteraannya sulit untuk naik karena tidak mendapat akses air bersih yang layak.

Tantangan di DKI Jakarta saat ini bukan sekadar soal jumlah penduduk. Hal yang juga sangat mengkhawatirkan adalah ketimpangan, termasuk ketimpangan akses air di Jakarta. Dengan jumlah penduduk DKI Jakarta sebanyak 10,3 juta jiwa, warga yang memiliki cakupan air bersih baru mencapai 62%.  Masih ada sekitar empat juta jiwa lagi yang belum mendapat sambungan air bersih.

“Strateginya, kita akan mempercepat ‘munisipalisasi’ atas pengelolaan air di DKI Jakarta. Karena itu, dalam beberapa waktu ke depan, kita berharap tanggung jawab untuk menyediakan air pipa itu diambil alih pemerintah,” terang Anies.

Di DKI Jakarta, dia mengatakan, sudah ada kerja sama pengelolaan air antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta  dengan swasta sejak 1998, yang akan tuntas 2023. Pada 1998 tersebut, ditetapkan target untuk mencapai 80% coverage pada 2023. Gap-nya (sekarang, Red.) masih 20%. Karena berkeyakinan bahwa dalam waktu tiga tahun ke depan, kecil kemungkinan pihak swasta mampu menambah 20% lagi cakupan layanan dari target yang ditetapkan, Pemprov DKI Jakarta akan mengambil alih pengelolaan tersebut.

“Jadi, daripada menunggu, lebih baik kita kerjakan awal oleh kita sendiri. Harapannya bisa mempercepat. Tetapi, proses negosiasi itu tidak mudah. Ini semua masih dalam proses. Jadi, bicara air bersih itu satu masalah. Dalam Ulang Tahun PAM Jaya ke-96 (Desember 2018, Red.), saya sampaikan, mudah-mudahan dalam Ultah ke-100 PAM Jaya, kita sudah bisa mengatakan bahwa kita bisa jamin 100% warga Jakarta tercapai (terlayani, Red.). Saya katakan kepada PAM Jaya, singkatan PAM itu Perusahaan Air Minum, bukan air mandi. Meskipun sama-sama AM. Tetapi, kalau kita bicara ke sana, effort-nya ekstra. Jadi, kita harus serius,” ucap Anies.

Tantangan berikutnya yang dihadapi DKI Jakarta terkait soal air limbah. Persoalan air limbah di DKI Jakarta diakuinya luar biasa. Di antara Pulau Jawa, atau malah mungkin di seluruh Indonesia, DKI Jakarta menjadi satu-satunya kota dengan jumlah sungai masuk dalam kota, terbanyak. Ada 13 sungai natural yang masuk dalam kota Jakarta. Dari 13 sungai natural tersebut, yang airnya bisa digunakan sebagai sumber air baku hanya dua, yakni Kali Krukut dan Kali Pesanggrahan. Sisa 11 lainnya tidak menjadi saluran air bersih, melainkan menjadi tempat pembuangan sampah.

Hal inilah yang membuat Jakarta menjadi fenomenal ketika terjadi banjir. Itu sebabnya, kata Anies, sekarang Pemprov DKI Jakarta memprioritaskan soal kebersihan sungai, menyiapkan tanggul-tanggul di sungai untuk pembersihan sampah sebelum masuk Jakarta. Pemprov juga sedang membangun Jakarta Sewerege System dengan tujuh zona.

"Kami di Jakarta, kalau ditanya tujuan kita apa? Menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh warga Jakarta,” tegas Anies.

(Deni Arisandy)