RPAM Terintegrasi dan Berbasis Risiko

Menurut Nur Aisyah Nasution, Koordinator Bidang Air Minum dan Sanitasi di Kementerian PPN/Bappenas, RPAM bukan sekadar rencana. RPAM merupakan sebuah upaya mewujudkan akses air minum aman bagi masyarakat. RPAM merupakan upaya mengendalikan risiko yang dapat berpengaruh terhadap rantai pasok air minum dari hulu hingga ke hilir. Hal ini sejalan dengan misi utama BUMD AM yakni menyediakan air minum aman ke masyarakat. Juga bagaimana mengajak masyarakat beralih dari penggunaan air tanah ke air minum perpipaan melalui BUMD AM. Dan RPAM  merupakan strategi untuk mencapai akses air minum aman melalui air perpipaan.

“Apalagi sekarang banyak isu mengenai stunting dan sebagainya. Jadi, kita harus membetulkan rantai pasok dari hulu ke hilir, dan menilai apa saja yang harus ditangani. Sebenarnya ISO (standar manajemen mutu) seluruh proses bisnis air minum adalah RPAM. Dan pintu masuk supaya kita bisa membenahi dari sisi teknis dan non-teknis adalah rantai pasok,” ungkap Aisyah saat menjadi narasumber diskusi Mapamnas PERPAMSI XIV di Kota Surakarta, (8/12) lalu.

Dari sisi target hingga 2024, setiap tahunnya sebanyak 102 kabupaten/kota memiliki dokumen RPAM. Saat ini baru 13 daerah yang sudah menyusun RPAM.

Menurutnya, untuk target air minum aman pada 2030, pemerintah sedang dalam tahap penentuan target. Secara universal sebenarnya seharusnya pada 2030 harus dicapai 100 persen air minum aman sesuai dengan SDGs. Sesuai dengan RPJMN pada 2024, ditargetkan pencapaian air minum aman bisa mencapai 15 persen. Hal tersebut dengan asumsi waktu itu air minum aman baru tercapai 6-7 persen. Kenyataannya, berdasarkan survei riil terkini atau hasil Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga Tahun 2020, yang disurvei di titik konsumsi air sebelum diminum, ternyata capaian air minum aman sudah 11 persen.

“Berarti sebenarnya target 15 persen itu normal. Tetapi dengan baseline waktu itu hanya 6-7 persen, maka harapan kita bisa lebih dari 15 persen. Karena sebetulnya target SDGs-nya luar biasa. Takutnya kalau di 2024 masih belum tercapai, kita untuk mencapainya setelah 2024 PR-nya lebih besar,” tegas Aisyah.

Dari sisi risiko, lanjutnya, mitigasi risiko RPAM di hulu adalah menangani persoalan air baku. Sedangkan di hilir adalah memitigasi perilaku masyarakat. Sanitasi merupakan faktor risiko yang sangat tinggi. Tidak hanya dari sisi pencemaran air limbah tetapi juga dari perilaku sanitasi masyarakat. Di satu sisi, BUMD AM menghadapi tantangan kesulitan air baku dengan kualitasnya menurun dan banyak pencemaran, sehingga harus diolah mahal. Di sisi lain, saat sampai di rumah tangga airnya tercemar. Untuk itu, pemerintah berupaya agar RPAM dapat diimplementasikan secara sistematis, efektif dan efisien, serta mendorong para pelaku air minum untuk saling berkomunikasi.

Aisyah mengatakan, saat ini baru 13 daerah yang sudah menyusun RPAM. BUMD AM, UPTD selaku penyedia rantai pasok air minum merupakan pihak yang perlu menyusun dan mengimplementasikan RPAM. Namun secara mandat, tanggung jawab penyediaan air minum ada pada pemda. Untuk itu, pemda harus memastikan agar penyelengara SPAM dapat menyediakan air minum aman dan  salah satunya melalui penyusunan dan pengimplementasian RPAM.

Direktur Air Minum, Ditjen Cipta Karya, Kementerian PUPR, Anang Muchlis, menyatakan, RPAM merupakan strategi sekaligus instrumen untuk mendukung pencapaian akses air minum aman. Juga untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Karena itu, pihaknya sudah menyiapkan Sistem Informasi RPAM yang di-launching kembali dalam Mapamnas PERPAMSI XIV.

Menurutnya, fokus implementasi RPAM adalah pemenuhan air minum berkualitas. Akses air minum berkualitas hanya akan dapat terwujud jika aspek kuantitas dan kontinuitas air minum juga terpenuhi. Untuk itu, setiap tahapan risiko dalam RPAM harus diidentifikasi dan disiapkan tingkat pengendaliannya. Kemudian diverikasi dan divalidasi secara berkala. Dengan demikian, mitigasi risiko rantai pasok air minum dari hulu ke hilir dapat tertangani dengan baik.

Dari sisi target, dalam RPJMN 2020-2024 dinyatakan bahwa setiap tahunnya sebanyak 102 kabupaten/kota memiliki dokumen RPAM.  Untuk mencapainya ada empat langkah yang dilakukan. Pertama,  merevisi PP 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum yang diharapkan tahun depan sudah selesai. Dan RPAM masuk dalam RPP tersebut.

Kedua, penyiapan pedoman dan penyusunan juknis RPAM Sistem Jaringan Perpipaan dan Bukan Jaringan Perpipaan. Ketiga,  pilot project SPAM Sistem Jaringan Perpipaan  di beberapa lokasi. Di antaranya dengan dukungan WHO, USAID IUWASH PLUS, serta dari Kementerian PUPR. Keempat, melakukan bimbingan teknis dan pendampingan penyusunan pedoman RPAM bagi penyelenggara SPAM.

Sungai Cisangkuy, salah satu sumber air baku Perumdam Tirtawening Kota Bandung.

“Saat ini sedang disusun pedoman RPAM yang rencananya disebarluaskan melalui SE Dirjen Cipta Karya. Sebagai turunannya akan dibuat juknis. Pertama, juknis RPAM SPAM jaringan perpipaan lengkap untuk skala kabupaten/kota. Kedua, juknis RPAM SPAM jaringan perpipaan lengkap untuk skala regional. Ketiga, juknis RPAM SPAM jaringan perpipaan sederhana. Keempat, juknis RPAM SPAM bukan jaringan perpipaan,” terang Anang.

Sedangkan Kasubdit Air Minum, Limbah, dan Sanitasi, Kemendagri, Riris Prasetyo, mengatakan, dengan fokus RPAM pada kualitas air berarti harus ditegaskan bahwa manajemen risiko penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) BUMD AM nantinya dititikberatkan pada sisi kualitas air. Selama ini dalam penyusunan dokumen RKA di Permendagri Nomor 118 Tahun 2018 tentang Rencana Bisnis,  pola pikir manajemen risikonya lebih pada soal keuangan.

“Jadi kalau kemarin kita melihat 4K (kuantitas, kualitas, kontinuitas, dan keterjangkauan) itu semuanya seimbang. Sekarang K pertamanya itu kualitas nomor satu. Penyusunan RKA-nya, harusnya juga berubah,” ungkap Riris.

Terkait dengan kualitas air ini, lanjutnya, juga tak lepas dari kemampuan pendanaan BUMD AM. Sekarang ini jumlah BUMD AM yang mencapai full cost recovery (FCR) belum mencapai setengah dari jumlah total BUMD AM. Sementara skema FCR melalui penentuan tarif batas atas dan batas bawah baru diterapkan pada 11 provinsi.  Itupun tidak menjamin  akan ada perubahan untuk menuju FCR. Sebab, masih akan menunggu  Keputusan Gubernur hasil evaluasi APBD.

“Apakah nanti benar-benar keputusan gubernur itu menegaskan adanya subsidi atau penyertaan modal. Gubernur nantinya harus menegaskan ulang mengenai penyertaan modal atau mekanisme subsidi,” pungkas Riris. DA