PDAM Lebih Condong ke Perumda
Dalam rapat yang juga dihadiri perwakilan beberapa direktur PDAM dari Provinsi Banten dan Jawa Barat tersebut, Subekti mengusulkan beberapa hal yang harus diatur dalam PP BUMD. Usulan tersebut yakni bentuk badan hukum PDAM, tarif, penugasan pemerintah, regionalisasi, kerja sama PDAM, perlunya dibentuk Badan Regulator Nasional, dividen, definisi kekayaan daerah yang dipisahkan, pengadaan barang dan jasa, tupoksi direksi dan dewan pengawas, dan terkait penggabungan badan usaha (holding company).
Menurut Subekti, dilihat dari karakteristik dan kegiatan usaha, BUMD air minum (PDAM) lebih cocok bentuk hukumnya adalah Perumda. Namun demikian, bagi PDAM yang sahamnya dimiliki lebih dari satu daerah seperti PDAM Kabupaten Bandung, PDAM Intan Banjar dan PDAM Jayapura, pilihan bentuk hukumnya lebih cocok ke Perseroda.
Untuk tarif air minum, diusulkan harus diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Tarif harus diatur full cost recovery (FCR), ada patokan tarif (plafon atas dan bawah) sehingga memudahkan daerah untuk menyesuaikan tarif. Di samping itu, ada pola public service obligation (PSO) jika PDAM melayani pelanggan di bawah level keekonomian. Dengan kata lain, pemerintah daerah harus memberikan subsidi. Terkait hal ini tentunya harus ada kejelasan antara tambahan penyertaan modal dengan subsidi.
“Keinginan kami tarif ini minimal harus diatur di level PP baru nanti pedomannya di Permendagri. Kenapa, karena jalan tol saja ada undang-undangnya. Dalam UU setiap dua tahun tarif jalan tol naik,” ujar Subekti. Diungkapkan pula bahwa saat ini baru sekitar 105 PDAM dari hampir 400 PDAM yang tarifnya sudah FCR.
Poin selanjutnya yang diusulkan PERPAMSI mengenai penugasan pemerintah. Diusulkan penugasan pemerintah harus dibukukan secara terpisah, mekanisme penugasan harus diatur secara tegas, dan harus ada kaitan dengan core business. “Kita sudah banyak berdiskusi, setiap perintah dari pemilik modal itu dianggap penugasan pemerintah. Nanti jangan-jangan PDAM ditugasi untuk membeli klub sepak bola kan repot. Sehingga kami sarankan harus ada kaitannya dengan core business,” katanya.
Terkait regionalisasi juga perlu diatur dalam PP mengingat ada beberapa daerah (PDAM) yang memiliki air baku dan sharing kepada daerah lain. Jika regionalisasi tidak diatur maka ke depan dengan terbatasnya air baku akan terjadi konflik antardaerah.
Perihal kerja sama, menurut Subekti, perlu dibedakan antara kerja sama operasional, kerja sama investasi dan perjanjian untuk membentuk usaha bersama (join venture company). Juga terkait supplier credit. Intinya semua harus diatur secara jelas dan transparan. “Kalau judulnya cuma ‘kerja sama’, repot sehingga perlu dilengkapi menjadi ‘kerja sama PDAM’. Sekarang kalau PDAM kerja sama dengan PT Pos, Indomaret atau bank, kan tidak ada lelang. Kemudian kalau membentuk anak perusahaan, misalnya kita akan mendirikan AMDK masak partner-nya juga mau dilelang? Terkait pendanaan beli nyicil (leasing) jangka panjang, juga harus diatur,” ujar Subekti.
Diusulkan pula mengenai pentingnya pembentukan Badan Regulator Air Minum Nasional yang diharapkan bisa memudahkan PDAM dalam melaksanakan tugas pelayanannya, juga dalam mengharmonisasi regulasi-regulasi yang mengatur air minum. Mengenai pembagian laba kepada pemegang saham berdasarkan banyaknya saham yang dimiliki (dividen) juga harus diatur. Hal ini dimaksudkan agar PDAM yang pelayanannya belum maksimal bisa berkembang sesuai dengan target yang diharapkan. “Surat Edaran Menteri Dalam Negeri mengenai PDAM yang pelayanannya belum 80 persen tidak diwajibkan menyetor PAD saya pikir sangat baik bila dimasukkan dalam PP,” harapnya.
Subekti juga berharap adanya penjelasan yang tegas dan jelas mengenai definisi ‘kekayaan daerah yang dipisahkan’, pengadaan barang dan jasa serta tupoksi dan masa jabatan direksi dan dewan pengawas disamakan dengan direksi BUMD lainnya. (AZ)