DPR Masih Membuka Masukan untuk RUU SDA

Selain Nizar, hadir dalam diskusi tersebut antara lain Sekretaris Badan Peningkatan Penyelenggaran Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) Bambang Sudiatmo. Selain itu, Direktur Pengelolaan SDA Ditjen SDA Kementerian PUPR Agus Suprapto, Ketua Umum PERPAMSI yang juga Direktur Utama PAM Jaya Erlan Hidayat, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Swasta Indonesia (Aspindo) Benny Andrianto, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KruHa) Muhammad Reza Sahib, Ketua Asosiasi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) Rahmat Hidayat, serta pengamat kebijakan publik Edie Haryoto dan Agus Pambagio. Diskusi dipandu oleh wartawan senior Primus Dorimulu.

Menurut Nizar, draf RUU yang saat ini beredar belum final. Para stakeholder air masih bisa memberikan masukan lebih banyak untuk memperkaya isi dari draft yang ada. DPR juga akan kembali mengundang para stakeholder untuk membahas satu demi satu pasal yang ada. “Nanti masih ada pandangan dari setiap fraksi terkait isi RUU ini pasal per pasal. Para stakeholder juga akan kita undang untuk lebih memperkaya. Jadi akan ada banyak daftar inventarisasi masalah yang perlu dibahas bersama. Kami targetkan pertengahan 2018 bisa selesai,” kata Nizar.

Terkait dengan isi RUU ini, lanjut Nizar, DPR telah melakukan konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi menyangkut enam prinsip yang telah ditetapkan oleh MK dalam pembatalan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA lalu. Inti dari keenam prinsip tersebut adalah hak rakyat atas air. Menurutnya, keenam prinsip tersebut sudah final dan akan diterjemahkan dalam UU yang baru.  “UU ini nantinya juga tidak boleh lebih jelas dari peraturan pemerintah. Makanya, lebih kepada definisi pengusahaan dan pengelolaan itu apa, bagaimana volumenya, dan sebagainya,” katanya.

 

Peran Swasta

Menurut Ketua Umum Aspindo Benny Andrianto, dalam UU tersebut pemerintah harus jelas mengenai penyelenggara SPAM swasta. Benny menilai, regulasi tentang keterlibatan swasta dalam penyediaan air bersih ambigu. Di satu sisi mendorong peran swasta, tetapi di sisi lain pemerintah tetap idealis karena mengacu pada Pasal 33 UUD 1945. Oleh karenanya ia berharap dalam RUU nanti sikap pemerintah harus jelas terhadap swasta, apakah mau dilibatkan atau tidak.  “Sebenarnya yang mengelola swasta tidak masalah, tetapi mereka tidak bisa menguasai,” jelas dia.

Lebih  lanjut menurut Benny, fakta di lapangan menunjukkan peran swasta tidak bisa dipungkiri ikut membantu dalam memperluas cakupan layananan. Saat ini, lanjut sosok yang juga Presiden Direktur PT Adhya Tirta Batam, dari total sekitar 132 ribu liter per detik yang dihasilkan oleh penyelenggara SPAM, sebanyak 33 ribu liter per detik dikerjakan oleh penyelenggara swasta.  “Artinya sebanyak 25 persen dari total 11 juta sambungan rumah di Indonesia swasta yang mengerjakan. Ini fakta,” kata Benny.

Masukan juga datang dari Ketua Asosiasi AMDK Rahmat Hidayat. Menurutnya, pihaknya merasa paling dicurigai dalam hal pengusahaan air. Padahal, selama ini industri air kemasan paling banyak membayar pajak dan juga menarik banyak tenaga kerja.

Dijelaskan Rahmat, air dalam kemasan bukanlah bagian dari air sebagai kebutuhan hajat orang banyak, melainkan sebagai bagian dari leisure, sebagaimana jenis minuman beralkohol, bersoda, maupun lainnya. Industri air dalam kemasan juga merupakan bagian dari industri manufaktur. Dengan demikian, tidak sama dengan air bagi hajat hidup orang banyak yang disediakan melalui jalur perpipaan. “Ini bedanya seperti bumi dan langit. Ini masuk  dari fast moving consumer goods. Apalagi, biaya kami 70 persen itu untuk membuat kemasan dan promosi,” ujar dia.

Selain itu, air kemasan juga hanya menggunakan sebagian kecil dari total penggunaan air yang dilakukan oleh industri  yang mencapai triliunan kubik. “Kita itu hanya menggunakan air hanya nol koma sekian dari total air yang digunakan industri,” kata Rahmat.

 

Negara Harus Hadir

Soal peran swasta dalam penyelenggaraan SPAM, Agus Pambagio mengatakan yang terpenting adalah negara harus dapat mencukupi kebutuhan air seluruh warganya. Negara juga harus hadir di wilayah yang sulit dijangkau swasta dan tidak memiliki nilai ekonomi, bukan sebaliknya. “Jika negara bisa melakukan dengan APBN maka lakukan. Namun jika tidak mampu yah harus menggandeng swasta,” katanya.

Senada dengan Agus, Erlan Hidayat mengatakan, kendati MK membatalkan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA dan MA mengabulkan tuntutan publik melalui Citizen Lawsuit (CLS) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap pemerintah pusat dan daerah, bukan berarti kerja sama dengan swasta berhenti. Sejumlah kontrak dan izin pengusahaan air masih tetap berlaku.

Terkait dengan peran swasta, menurut Erlan tidak ada masalah.  “Namun, swasta yang terlibat lebih baik tidak bergerak dari hulu hingga hilir,” ujar dia.

Sementara itu, Muhammad Reza Sihab berpendapat, Indonesia belum memiliki data baseline pengusahaan dan pengelolaan sumber daya air. Akibatnya, saat ini pengusahaan dan pengelolaan sumber daya air belum jelas. Masing-masing pihak juga berargumen berdasarkan data mereka masing-masing.

Selain itu, keberpihakan pemerintah di sektor sumber daya air juga masih kurang. Ini bisa dilihat dari alokasi anggaran yang hanya 0,02 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan kurang dari 1 persen dari APBN. “Walaupun kesannya setiap tahun anggaran meningkat tetapi secara prosentase kecil. Semestinya pemerintah harus investasi bernilai sosial, bukan lagi mengacu pada full cost recovery,” jelas Reza.

Di sisi lain, sambungnya, dalam pengusahaan dan pengelolaan air perlu dibedakan antara air bagi hajat hidup orang banyak dan air sebagai barang ekonomi. Air sebagai kebutuhan dasar manusia disebut juga hak konstitusi rakyat dan hak asasi manusia. (Dvt)