Seluruh UU SDA Dibatalkan MK

“Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X, dan Pemohon XI untuk seluruhnya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD 1945,” urai Arief membacakan putusan yang diajukan oleh PP Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha dan beberapa pemohon perseorangan tersebut.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman, putusan terkait UU SDA juga telah dipertimbangkan dalam putusan Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi, sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri, yang mempunyai andil penting bagi kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak.

“Persyaratan konstitusionalitas UU SDA tersebut adalah bahwa UU SDA dalam pelaksanaannya harus menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan negara atas air. Hak penguasaan negara atas air itu dapat dikatakan ada bilamana negara, yang oleh UUD 1945 diberi mandat untuk membuat kebijakan (beleid), melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad),” jelas Anwar.

Selain dua aspek tersebut, jaminan bahwa negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air itu menjadi syarat yang tak dapat ditiadakan dalam menilai konstitusionalitas UU SDA. Jaminan ini terlihat dalam enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Keenam prinsip dasar tersebut, yakni pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh langsung dari sumber air.

Swasta Tidak Boleh Kuasai Pengelolaan Air

Kemudian, konsep hak dalam Hak Guna Air harus dibedakan dengan konsep hak dalam pengertian umum dan haruslah sejalan dengan konsep res commune yang tidak boleh menjadi objek harga secara ekonomi. Selain itu, Konsep Hak Guna Pakai Air dalam UU SDA harus ditafsirkan sebagai turunan (derivative) dari hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Oleh karenanya, pemanfaatan air di luar Hak Guna Pakai Air, dalam hal ini Hak Guna Usaha Air, haruslah melalui permohonan izin kepada Pemerintah yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya. Oleh karena itu, Hak Guna Usaha Air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa.

 “Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara secara ketat,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto.

Hal lain yang dipertimbangkan MK, terkait prinsip “penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” harus dimaknai sebagai prinsip yang tidak menempatkan air sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi. Dengan demikian, tidak ada harga air sebagai komponen penghitungan jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Di samping itu, prinsip ini harus dilaksanakan secara fleksibel dengan tidak mengenakan perhitungan secara sama tanpa mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya air.

“Oleh karena itu, petani pemakai air, pengguna air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air,” sambung Aswanto.  (Sumber: Mahkamah Konstitusi)