Rembuk Nasional Air Minum dan Sanitasi

Demikian antara lain terungkap dalam forum Rembuk Nasional Air Minum dan Sanitasi yang diselenggarakan oleh Institut Lembang Sembilan (L9 Institut) di Jakarta, 18 Mei 2017. Narasumber utama adalah Direktur Jenderal Cipta Karya yang dalam acara itu diwakili oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Rina Agustin Indriani.

Acara rembuk berupa pemaparan tentang sasaran, kondisi terkini, kendala-kendala dan peluang, serta program pendukung pencapaian target itu, dihadiri puluhan peserta terdiri pejabat-pejabat terkait dari Kementerian PUPR, perwakilan PERPAMSI, pimpinan PDAM dari berbagai daerah, para investor, serta sejumlah simpatisan air minum dan sanitasi. Acara berlangsung hangat dan bersemangat kendati di sana-sini diwarnai sikap bernada wanti-wanti dari beberapa peserta tentang pencapaian target 100-0-100.

Sikap bernada wanti-wanti  antara lain tersirat dalam pertanyaan tentang mutu air baku, yang selain masih belum mencukupi dari sudut volume, juga semakin tercemar. “Siapa yang harus bertanggung jawab tentang masalah serius ini?” tanya seorang peserta dari Kabupaten Tangerang. Ada lagi pertanyaan yang mengundang tawa riuh, bahwa sudah begitu sering diadakan pertemuan untuk mencari masukan-masukan, tetapi  kapan kita dapatkan keluaran-keluaran? Mungkin yang dimaksud, mana hasilnya?

Pertemuan nasional, rembuk nasional, atau apa pun namanya menyangkut kondisi terkini perairminuman dan masalah sanitasi, memang tetap relevan untuk mengetahui  sampai di mana keberadaan kita dalam upaya pencapaian sasaran yang telah ditetapkan. Masalah air baku, regulasi, perizinan, aset, komitmen daerah, masalah tarif dan sebagainya, yang sangat berpengaruh terhadap kinerja PDAM dan SPAM pada umumnya, bagaikan ditumpahkan dalam rembuk nasional itu. Kesemua faktor itu dirasakan sangat menghambat operasional PDAM sehingga tidak sedikit peserta terkesan khawatir,  jangan-jangan mereka tidak dapat memenuhi harapan yang dibebankan ke pundak mereka.

  

Tanggung Jawab Siapa

Sebagai contoh, saat sesi diskusi dilakukan setelah penyampaian pemaparan dari pihak Kementerian PUPR, seorang utusan dari Tangerang menumpahkan berbagai permasalahan yang mereka hadapi di lapangan, yang dirasakan sangat menghambat operasional PDAM yang diwakilinya. Salah satu di antaranya adalah semakin buruknya mutu air baku di bagian hilir Sungai Cisadane.

Ada dilema yang dirasakannya di sana. Dikatakannya, daerah aliran sungai (DAS) semestinya adalah satu kesatuan yang tak patut dikotak-kotakkan. Namun yang dihadapi di lapangan, ketika PDAM ini minta izin kepada instansi terkait Sumber Daya Air selaku penanggung jawab DAS (untuk memindahkan intake mereka agak ke hulu untuk bisa  mendapatkan air baku yang lebih baik), ternyata pihak SDA tidak punya kekuasaan untuk memberi izin. Pasalnya, lokasi yang dimaksudkan, sesuai dengan rekomendasi dari studi yang dilakukan untuk itu, terletak di wilayah administrasi yang berbeda dengan wilayah kerja PDAM bersangkutan.  Izin yang sangat diperlukan tidak kunjung diberikan oleh Pemda terkait. “Nah, siapa yang harus bertanggung jawab dalam keadaan seperti ini?” tanya utusan tersebut.

Ia membeberkan, bahwa pencemaran Sungai Cisadane memang sudah sangat menyedihkan. Tak hanya limbah industri dan domestik yang ada, tetapi juga aneka macam sampah, kotoran, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Disebutkan, ketika pihak industri diminta mengolah limbahnya dan tidak membuangnya ke sungai, jawaban yang didapat adalah  bahwa hal itu akan menyebabkan biaya produksi meningkat dan harga jual industri pun akan lebih mahal.

Karena masalah seperti itu juga menyangkut masalah regulasi, utusan tadi menyampaikan ke pihak pemerintah agar segera membereskan hal-hal semacam itu, yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Mengetahui bahwa Institut Lembang Sembilan  (9L Institut) sebagai penyelenggara Rembuk Nasional itu dekat dengan istana, seorang peserta membisikkan kepada penulis; “Semoga masalah-masalah ini semua sampai ke Istana.(Vst)