PDAM Tetap Harus Bekerja Keras dan Mandiri

Ketua Umum PERPAMSI Erlan Hidayat sedari awal kurang begitu yakin terhadap program 100-0-100 yang dicanangkan pemerintah pusat. Sejak dilantik sebagai Direktur Utama PAM Jaya Juni 2015 lalu, sebagai orang baru di sektor air minum  ia merasa banyak keanehan dalam program tersebut. Keanehan seperti apa yang dimaksud? Berikut beberapa catatan Erlan dan juga hasil wawancara Majalah Air Minum PERPAMSI yang dilakukan beberapa waktu lalu.

Bagaimana Anda melihat program 100-0-100 yang dicanangkan oleh pemerintah?

Sebelumnya, pada 2015 ketika mendengar bahwa Pemerintah Indonesia telah berhasil mencapai target MDGs, saya merasa aneh. Bagaimana mungkin sesuatu yang isunya belum banyak diketahui, dalam waktu singkat sudah dinyatakan berhasil dicapai. Ketika itu saya tidak terlalu menanggapainya karena bukan pekerjaan saya selaku Dirut PAM Jaya.

Setelah itu, dalam pelatihan manajemen air minum, saya dikenalkan dengan SDGs dan target-targetnya. Salah satu yang membuat saya tercengang adalah target 100-0-100. Terutama pada 100 yang pertama, yaitu akses aman air bersih bagi seluruh masyarakat Indonesia dengan target 100 persen. Menakjubkan!

Menurut Anda apakah program ini bisa tercapai?

Awalnya memang menakjubkan. Namun setelah saya pelajari, ternyata kita tidak perlu khawatir dengan target tersebut. Program 100-0-100 pasti tercapai. Itulah hebatnya manajemen pemerintahan kita sekarang ini. Mudah menentukan target dan mudah pula mencapainya.

Hitungannya seperti apa program tersebut bisa tercapai?

Contohnya di PAM Jaya. Ketika saya masuk, cakupan pelayanan sudah mencapai 62 persen untuk DKI Jakarta. Dalam target 100 persen, prosentasenya adalah 60 persen perpipaan, 40 persen non perpipaan. Jika begitu persentasenya, saya tidak perlu khawatir, karena cakupan layanan PAM Jaya sudah mencapai 62 persen. Selebihnya bagaimana yang non perpipaan? Di DKI Jakarta kalau belum ada yang memakai PAM, masyarakat bisa memakai air tanah. Kalau air tanahnya jelek, masih ada pilihan untuk membeli air gerobak, kios air atau truk tanki air.

Artinya, untuk kondisi DKI Jakarta, target 100-0-100 itu, minimal 100 pertamanya, sudah tercapai. Hebatnya, target tesebut sudah tercapai sejak 2015 ketika program tersebut baru dicanangkan.

Dalam 100 persen target akses air minum, 60 persen menjadi target untuk perpipaan. Sementara itu, kontribusi layanan nasional oleh PDAM baru 26,7 persen.

Dalam target 100-0-100, di dalamnya banyak pecahannya. Kalau kita pelajari dari awal, konfigurasi untuk target tersebut sering berubah. Pernah konfigurasi perpipaan dan non perpipaan itu 65 persen dan 35 persen, kemudian menjadi 60 persen dan 40 persen. Bahkan sempat pula menjadi terbalik dimana perpipaan 35 persen dan non perpipaan 65 persen. Pertanyaannya, apakah kita memang punya target bergerak (moving target)?

Menurut saya, masyarakat tidak peduli soal 100-0-100. Yang terpenting, mereka mendapatkan pelayanan air bersih, permukiman bersih dan sehat, serta pelayanan sanitasi yang baik. Sehingga masyarakat memerlukan tindakan nyata, bukan hitungan-hitungan target di atas kertas yang kita tahu hasil ujungnya pasti "tercapai”.

Dalam rangka mencapai 100-0-100, pemerintah banyak memberikan program bantuan hibah untuk masyarakat MBR. Selain itu juga ada Pamsimas dan juga SPAM lainnya.

Program tersebut kesannya memang bagus, tapi fakta di lapangan lain. Program hibah MBR misalnya, banyak PDAM yang terjerat masalah hukum. Sementara untuk Pamsimas atau Air Minum Perdesaan seringkali malah menempatkan PDAM setempat menjadi terganggu kinerjanya. Kerena program tersebut justru menggratiskan air bagi sebagian masyarakat, sementara kalau air dari PDAM harus bayar.

Dari beberapa fakta tersebut, tentu patut kita pertanyakan cara pemerintah dalam membina PDAM. Apakah semua hibah MBR itu kemudian ada air nya? Atau hanya untuk tujuan menaikkan counter jumlah SR yang ditargetkan?

Dari kondisi dan beberapa fakta yang ada, apa yang dapat Anda simpulkan dari program 100-0-100?

Program 100-0-100 lebih merupakan tujuan moral yang imajiner. Sulit menghubungkan antara apa yang dilakukan dalam rangka 100-0-100 dengan ketercapaian pemenuhan pelayanan di lapangan. Target 2019 hampir pasti akan dinyatakan tercapai. Tapi mari kita lihat nanti, seberapa besar capaian itu dirasakan oleh masyarakat yang membutuhkannya.

Selain itu, 100-0-100 hanya bicara soal produksi dan jumlah sambungan rumah. Padahal ada yang lebih substansi yaitu pengelolaan sumber daya air. Di PERPAMSI saya belajar bahwa pemetaan sumber-sumber air dan pengembangan untuk pemanfaatannya masih belum dilakukan secara terintegrasi. Contohnya lihat saja SPAM regional yang tumbuh di sana-sini, rata-rata berjalan tersendat dan seakan dilakukan hanya untuk kepentingan sesaat.

Tidak hanya itu, masih banyak lagi hal subtansi yang butuh penyelesaian. Seperti soal aset yang saat ini masih belum ada kejelasan. Apakah aset tersebut lancar diserahkan? Berapa banyak program bantuan yang kemudian menjadi aset yang terbengkalai? Atau, kalaupun aset yang berproduksi tidak ada yang tahu dengan pasti untuk berapa lama aset tersebut akan produktif? Beberapa pertanyaan tersebut belum semua bisa dijawab sampai sekarang.

Selaku Ketua Umum PERPAMSI, apa saran Anda kepada PDAM dalam target 100-0-100 ini?

Biarlah program 100-0-100 dan target-targetnya menjadi pekerjaan dan dijalankan oleh pemerintah pusat. Selebihnya, PDAM  tetap harus bekerja keras secara mandiri untuk bisa berfungsi dan berperan sebagai kepanjangan tangan pemdanya untuk melayani masyarakat dimana PDAM itu berada.  Bersyukurlah daerah yang mendapat bantuan yang cocok dan tidak bertolak belakang dengan peranan PDAM-nya.

Bagi daerah yang mendapat bantuan namun malah menimbulkan kegagalan fungsi bagi PDAM-nya (seperti program Pamsimas), bangun dan berupayalah untuk memecahkan permasalahan itu dengan kearifan lokal masing-masing daerah. DP