PDAM Kabupaten Madiun Tersandung Persoalan PPN Non Air

Perjalanan serta perjuangan PDAM Madiun soal PPN non air ini dimulai sejak tahun 2012. Pada saat itu ada pemeriksaan pajak dari kantor pajak setempat yang menemukan adanya kekurangan pajak pada rekening non air (barang dan jasa) PDAM, untuk tahun 2006 dan 2008. Total kekurangn yang belum dibayar diklaim sekitar Rp 300 juta termasuk dengan bunganya.

Hasil pemeriksaan pajak tersebut membingungkan pihak PDAM. Pasalnya PDAM sudah diperiksa oleh Kantor Akuntan Publik dengan hasil kinerja yang baik, dan juga BPKP perwakilan provinsi yang juga menilai baik. Atas surat itu, PDAM kemudian melayangkan surat keberatan ke Dirjen Pajak atas hasil pemeriksaan dengan disertai berbagai argumen.

Upaya koordinasi pun dilakukan kedua belah pihak antara PDAM Madiun dengan Ditjen Pajak yang diwakili kantor Pratama Kabupaten Madiun, bahkan hingga disertai dengan pakta integritas antar keduanya. Namun, upaya tersebut berakhir tanpa penyelesaian. Pihak Ditjen Pajak tetap mengharuskan PDAM untuk membayar hutang pajaknya. Permasalahan pun berlanjut hingga ke pengadilan.

“Akhirnya direktur pada waktu itu, Pak Subyantoro memutuskan untuk menolak, dan memerintahkan manajemen untuk bersatu dan membentuk tim untuk maju ke pengadilan pajak. Saya waktu itu kebetulan masih menjabat sebagai Kabag Keuangan,” cerita Sumaryono, Direktur Utama PDAM Kabupaten Madiun di Graha PERPAMSI, belum lama ini.                                                                                                                                                                                                                       

Bantuan Hukum

Belum paham soal hukum, lanjut Sumaryono, tim PDAM Madiun kemudian melakukan konsultasi dengan kantor akuntan publik dan juga menunjuk kuasa hukum untuk mewakili PDAM selama proses persidangan. Selain itu, PDAM juga mengumpulkan laporan keuangan dan bukti pembayaran PDAM pada tahun 2006, 2008 dan 2011.

Pada 18 September 2014, bertempat di gedung Kementerian Keuangan di Surabaya, sidang pajak pertama dimulai. Setelah tiga kali sidang, pengadilan pajak memutuskan bahwa PDAM Kabupaten Madiun dinyatakan menang dari gugatan yang diajukan oleh Dirjen Pajak. Keputusan pengadilan menyatakan bahwa PPN non air PDAM tidak dikenakan pajak non air dan seterusnya.

Atas hasil keputusan pengadilan tersebut, Ditjen Pajak kemudian mengajukan PK sehingga naik ke Mahkamah Agung. Hal ini juga diiikuti oleh PDAM Madiun dengan mengajukan kontra memori atas PK yang diajukan Ditjen Pajak. Di MA, seperti disebutkan sebelumnya di atas, keputusan tidak banyak berubah. Dari 13 SKP yang harus dilaksanakan oleh PDAM, MA menolak sembilan di antaranya, sementara empat lainnya masih proses hingga sekarang. “Kalau melihat kemungkinannya, yang empat itu tidak akan jauh berbeda dengan keputusan pengadilan pajak di Surabaya,” kata Sumaryono yakin.

Dialami PDAM Lain

Kasus yang menimpa PDAM Madiun sebenarnya juga dialami oleh beberapa PDAM lain. Banyak PDAM yang juga menang dan dibebaskan pajaknya, seperti di Medan dan Surabaya. Namun bedanya, PDAM hanya dibebaskan pajaknya yang hanya  berlaku surut ke belakang, kemudian ke depan harus membayar PPN non air. Nah, PDAM Madiun berlaku untuk selama-lamanya karena tidak termasuk dalam perusahaan kena pajak (PKP) untuk selamanya. Hal ini menjadi menarik, karena membuka diskursus baru soal penerapan pajak non air bagi PDAM.

Menurut Sumaryono, ada beberapa alasan pengajuan keberatan PPN non air ini. Di antaranya, air bersih dan infrastruktur (jaringan pipa, meter air, jasa pemasangan ke konsumen) merupakan satu kesatuan yang dibebaskan dari PPN. Tanpa jaringan pendukung, tidak mungkin air bersih bisa sampai ke konsumen. PDAM juga merupakan perusahaan air minum yang memberikan layanan air bersih ke konsumen bukan memperjualbelikan pipa atau meter air. Sehingga pendapatan sambungan baru dalam pendapatan non air PDAM adalah penerimaan yang melekat dari uang pendaftaran untuk diterima atau dicatat sebagai pelanggan.

Dari sisi filosofis, tambah Sumaryono, air merupakan barang strategis yang berperan mulia dalam pencapain target MDG maupun SDG dalam rangka akses air minum. “Dalam pasal 33 juga sudah jelas bahwa bumi dan air dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Itu salah satu argumen yang kita gunakan,” katanya.

Regulasi

Permasalahan PPN non air ini sebenarnya sudah terselesaikan sejak keluarnya PP Nomor 40 Tahun 2015 tentang Penyerahan Air Bersih yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. PP itu keluar karena sebelumnya terjadi perbedaan penafsiran antara definisi air minum dan air bersih dari Kementerian Kesehatan dan Ditjen Pajak.

Sebelum PP ini keluar, merujuk pada aturan sebelumya, Ditjen Pajak menganggap air yang diberikan PDAM kepada masyarakat adalah air minum bukan air bersih sehingga masuk dalam obyek pajak. Setelah PP ini keluar, di situ jelas disebutkan bahwa definisi air bersih adalah air bersih yang belum siap diminum atau siap diminum, tidak termasuk air dalam kemasan. Sehingga dalam hal ini, air yang diberikan PDAM tidak terkena pajak.

Selesai soal definisi air minum, permasalahan muncul dari komponen rekening air. Di situ ada biaya air, perawatan, penggantian meter dan sebagainya. Untuk biaya air memang tidak kena pajak, tapi untuk yang lainnya seperti meter air, pipa dan sebagainya, Ditjen Pajak masih menganggap hal itu sebagai obyek pajak.

Hal inilah yang banyak menjadi kasus di berbagai PDAM, termasuk Kabupaten Madiun. Hanya bedanya ketika PDAM lain masih membayar PPN untuk infrastruktur dan sebagainya, PDAM Madiun tidak sama sekali. Bagi beberapa PDAM, PPN non air ini sebenarnya tidak ada masalah. Karena biaya tersebut akan dibebankan ke pelanggan sebagai bagian dari rekening tagihan. “Kalau di kita memang komponen tarif itu tidak kita pisahkan, beda dengan PDAM lainnya. Kita menjadi satu paket biaya air,” kata Sumaryono.

Kasus PDAM Madiun ini bisa menjadi pintu bagi perubahan regulasi. Terlebih jika nanti MA memutuskan keseluruhan SKP yang dibebankan PDAM dibebaskan dari PPN non air dan PDAM bukan menjadi obyek PKP, alias dimenangkan oleh mutlak oleh PDAM. Tentu hal ini akan menjadi perdebatan hukum soal putusan MA dengan PP 40/2015 yang menetapkan PDAM sebagai PKP. Berkaca dari masalah ini, lanjut Sumaryono, tidak ada salahnya untuk mengkaji atau merevisi PP tersebut.  

Dengan regulasi yang jelas, harapannya PDAM akan bisa fokus dalam pelayanan air bersih kepada masyarakat dan pecapaian target layanan 100 persen. Bukan untuk sibuk bolak-balik ke pengadilan. “Kasus ini memang membuat kami jadi tidak konsentrasi ke urusan pelayanan air kepada pelanggan. Sangat menyita waktu dan tenaga,” keluh Sumaryono. Danang Pidekso