Menuju Kemandirian Pelayanan Air Minum Jakarta

Trend pengelolaan air di dunia menunjukkan perubahan sejak tahun 2000-an. Kalau sebelumnya semua diserahkan ke sektor swasta melalui kerja sama Public Private Partnership (PPP), saat ini mulai bergeser. Pemerintah di banyak negara mulai melakukan pengambilalihan sektor air minum yang selama ini dikelola swasta. Alasan utama pengambilalihan tersebut adalah untuk mengontrol biaya dan meningkatkan pelayanan. Dari ratusan negara yang melakukan langkah tersebut, banyak yang berhasil namun ada juga yang gagal. Bagaimana dengan Jakarta?

Kompleksitas pengelolaan air minum setiap negara tentu berbeda-beda tergantung dari banyak faktor, seperti regulasi, sumber daya,  dan juga stakeholder yang terlibat di dalamnya. Sehingga pengelolaan air minum di Jakarta harus dilihat dari kacamata yang lebih jernih, tidak serta merta mengikuti trend yang terjadi.

Direktur Utama PAM Jaya Erlan Hidayat menilai, tidak ada yang buruk sebenarnya dari pengelolaan air minum yang dilakukan oleh  dua mitra mereka, yaitu yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra).  Sejak bekerja sama dari tahun 1998 hingga saat ini, data-data menunjukkan semua target kinerja bisa terpenuhi. Kewajiban swasta, baik dari segi cakupan layanan, penambahan jaringan, investasi, pembayaran utang, penurunan kebocoran, hingga kontribusi terhadap pendapatan daerah  menunjukkan hasil yang cukup baik, meningkat hampir 100 persen.

Hanya saja, lanjut Erlan, dalam beberapa hal memang perlu ada penyesuaian seiring perkembangan kota Jakarta. Misalnya, ketika PAM Jaya mau investasi SPAM untuk wilayah miskin di Jakarta. Meskipun memiliki anggaran, tidak serta-merta bisa dilakukan karena wilayah tersebut merupakan kewenangan swasta yang tertuang dalam kerja sama. Pun ketika swasta diminta mengerjakan, air baku yang disediakan tidak memadai. Dengan ketersedian air baku yang minim, swasta akan memprioritaskan segmentasi masyarakat yang lebih menguntungkan.

Wajar sebagai perusahaan, swasta mencari keuntungan untuk tetap survive. Persoalan menjadi bertambah kompleks ketika pengelolan air melibatkan banyak instansi pemerintah.

“Terkadang permasalahan menjadi lebih rumit jika ditambah persepsi dari stakeholder lain. Sebenarnya simple masalahnya tetapi kadang menjadi lama karena banyak pihak yang ikut campur. Akhirnya yang menjadi korban adalah masyarakat Jakarta,” kata Erlan.

Selain itu, dinamika regulasi yang ada di Indonesia juga ikut mempengaruhi pengeloalaan air di Jakarta. UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air baru telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi dengan alasan tidak memihak rakyat. Kemudian keluar PP Nomor 122 tentang SPAM sebagai aturan pengganti disusul dengan berbagai peraturan menteri.

Melihat aturan yang telah terbit, nampaknya trend pengelolaan air dunia turut berpengaruh dengan menempatkan pemerintah dalam hal ini PDAM selaku BUMD sebagai ujung tombak pelayanan air minum. Memang masih terbuka ruang untuk swasta namun ada batasannya.

Beberapa hal diatas, lanjut Erlan, yang menjadi alasan PAM Jaya meninjau kembali kerja samanya dengan dua operator swasta yang akan habis masa kontraknya 2023 nanti. Ada beberapa opsi yang bisa dilakukan sebenarnya, melalui akuisisi, pembelian maupun merestrukturisasi kerja sama. “Kita memilih restrukturisasi karena itu yang paling realistis. Kerja sama dengan pihak swasta harus dilihat secara jernih. Saya juga tidak mau jika kita hidup tapi swasta mati,” kata Erlan.

Pada tanggal 25 Oktober lalu, langkah awal telah dilakukan antara PAM Jaya dengan Palyja dengan menandatangani Nota Kesepahaman‎ (MoU) tentang restrukturisasi PKS. MoU ini merukan start awal untuk duduk bersama membicarakan poin-poin perubahan. Ada beberapa hal yang diinginkan oleh PAM Jaya ke depannya. Kalau sebelumnya semua bagian, baik itu air baku, produksi, distribusi hingga pelayanan diserahkan swasta melalui konsensi, ke depan PAM Jaya menginginkan pengelolaan di bagian air baku dan juga pelayanan menjadi tanggung mereka.

“PAM Jaya ini sudah lama tidak menjadi operator, ke depan kita harus bisa. Hal ini juga sejalan dengan aturan yang telah diterbitkan pemerintah,” tambah Erlan.

MoU tersebut merupakan salah satu tahapan dari keinginan Provinsi DKI Jakarta untuk menuju kemandirian pelayanan air minum. Lebih lanjut menurut Erlan, tahun 2016 ini merupakan target yang telah ditetapkan PAM Jaya untuk MoU restrukturisasi kerja sama. Setelah tuntas, pertengahan 2017 akan disusul dengan rencana restrukturisasi tarif dan juga  pendanaan untuk investasi.

“Setelah beres dan jelas dengan kedua operator, baru nanti bicara air baku dan pengembangan. Tinggal Aetra yang belum menanggapi tawaran restrukturisasi,” jelas Erlan.

Menanggapi restrukturisasi kerja sama ini, Wakil Presiden PT PAM Lyonnaise Jaya Rahmat Samulo menyambut baik MoU yang telah disepakati. Menurut Samulo, kehadiran Palyja di Jakarta ini adalah dalam rangka untuk ketersedian air bersih bagi masyarakat. Apabila restrukturisasi membuat ketersedian air di DKI Jakarta lebih baik maka hal itu sejalan dengan komitmen dari Palyja.

Komitmen tersebut, lanjut Rahmat, dibuktikan dengan berbagai capaian yang telah dilakukan Palyja. Seperti investasi hingga Rp 2 triliun, pembangunan pipa baru sepanjang 1.400 kilometer, transfer teknologi, dan juga perhatian terhadap masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). “Ini merupakan itikad baik dari PAM Jaya dan Palyja yang ujungnya adalah peningkatan pelayanan air bersih. Palyja selalu dalam posisi mengikuti segala peraturan pemerintah yang baru,” kata Rahmat.

Setelah MoU ditandatangani, terdapat waktu enam bulan bagi kedua belah pihak untuk merumuskan poin-poin yang disepakati. Bagi Palyja, yang terpenting adalah win-win solution antara kedua belah pihak. Sebagai pihak swasta, aspek-aspek seperti karyawan, investasi, pemilik akan menjadi pertimbangan dalam poin-poin kesepakatan.

Palyja juga menganggap restrukturisasi ini sebagai transisi untuk menyiapkan langkah selanjutnya setelah kontrak selesai pada 1 Februari 2023 nanti. “Dengan goal-nya yang sama serta pikiran positif kita akan duduk bersama-sama untuk kerja sama yang lebih menguntungkan. Sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” tambah Rahmat.

Sebagai ibu kota negara dan barometer kota besar, sudah sewajarnya bila pelayanan air bersih Jakarta adalah yang terbaik. Restrukturisasi kerja sama harus bisa menjawab ketidakadilan dan kesulitan warga ibu kota dalam mendapatkan air bersih. Semoga. (Dvt)