Bukan Privatisasi tapi Kerja Sama Pemerintah-Swasta
Menanggapi hal ini, Subekti mengemukakan yang terjadi sekarang ini sebenarnya bukan komersialisasi melainkan public private partnership (PPP) atau kerja sama kemitraan antara pemerintah dan swasta. Pasalnya, hak kontrol dan hak mengatur tetap ada pada pemerintah. Misalnya menyangkut soal tarif dan berbagai hal terkait, termasuk soal pengusahaan aset yang pada waktu yang sudah ditentukan dalam perjanjian akan dikembalikan kepada pemerintah.
Adapun latar belakang kemitraan dengan swasta dikarenakan investasi di sektor air minum sangat mahal, sekitar Rp 10 juta untuk satu sambungan rumah. Padahal, keuangan Pemda selaku pemilik PDAM sangat terbatas. Karena itulah pemerintah mengundang partisipasi swasta dengan semangat sama-sama untung dalam batas-batas yang wajar.
Dengan demikian, lanjut Subekti, kehadiran swasta di sektor air minum justru untuk membantu pemerintah. Dengan sinergi antara sumber daya yang dimiliki pemerintah dengan yang ada pada swasta, agar lebih banyak masyarakat terlayani kebutuhannya akan air minum.
“Jika hanya mengandalkan investasi pemerintah, sedangkan dana investasi yang diperlukan sangat besar, sulit sekali meningkatkan atau memperluas cakupan pelayanan air minum hingga ke tingkat yang ideal,” kata Subekti.
Sementara itu menurut La Ode, alasan utama pihaknya menggugat UU SDA, kita harus kembali ke semangat pasal 33 UUD 1945 yang menekankan bahwa bumi dan air dan segala yang terkandung di dalamnya harus dikuasai negara untuk dimanfaatkan sepenuhnya bagi kemakmuran rakyat.
“Jangan sampai dikomersialkan. Komersialisasi sumber daya air sama saja dengan komersialisasi Ibu Pertiwi,” kata pegiat lingkungan hidup dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2004-2014. (dng/vs)