Wakaf untuk Mendorong Kedaulatan Rakyat Atas Air
Dalam pandangan MUI, sejauh ini kewenangan pengelolaan air terdistribusi kepada terlalu banyak lembaga. Akibatnya, Indonesia kehilangan orientasi kolektif dalam membangun akses air minum masyarakat. Di sisi lain, saat terjadi krisis air tak satu pun lembaga negara yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindak lanjut oleh seluruh pemangku kepentingan untuk menegakkan amanah konsitusi dimana air harus dikembalikan ke domain publik, dikelola untuk kesejahteraan orang banyak.
Dalam sambutannya, Wakil Ketua DPR RI bidang Kesejahteraan Rakyat Fahri Hamzah menyampaikan tiga poin penting terkait sikap dan posisi DPR menanggapi permasalahan air di Indonesia. Pertama, dalam agenda besar kedaulatan air, DPR secara politis dan kelembagaan akan berjuang bersungguh-sungguh untuk mewujudkan keinginan ulama, para pihak, dan rakyat akan terbukanya akses rakyat akan air.
Kedua, DPR juga berkomitmen untuk melakukan pembahasan UU Sumber Daya Air secara terbuka, transparan, dan memenuhi rasa keadilan. Komisi terkait dan Badan Keahlian DPR yang melakukan pembahasan UU SDA di tahun 2017, DPR telah meminta masukan Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) dan beberapa lembaga terkait.
Ketiga, DPR juga akan berkomitmen bahwa prinsip-prinsip dasar kedaulatan air, yaitu: a) Air sebagai milik umum dimana rakyat memiliki akses atasnya; b) Rakyat mendapatkan kualitas yang layak atas air; c) Dipergunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan; d) Dikelola kelembagaannya oleh negara; e) Dimanfaatkan oleh publik atas azas kekeluargaan (ada mekanisme publik untuk mengontrol); f) Menolak monopoli, oligopoli, dan rente dalam penguasaan air; g) Dimanfaatkan untuk memuliakan kemanusiaan dan kehidupan; semua prinsip itu nanti akan tertuang dalam UU SDA yang baru.
Keempat, DPR akan menjadi jembatan yang menyinergikan rencana MUI dan banyak pihak atas cita-cita kedaulatan air terwujud. “Skema menurunkan atau mengkonversi manfaat barang atau dana wakaf umat untuk program kedaulatan air di berbagai daerah rawan air di Indonesia dalam bentuk penyediaan infrastruktur, dan lain sebagainya, memerlukan seperangkat peraturan dan kesepahaman bersama antarberbagai pihak dan lembaga,” ujar Fahri seraya meminta agar MUI memberikan rekomendasi untuk dapat diagendakan untuk bertemu dengan komisi-komisi di DPR.
Wakaf sebagai Alternatif Pendanaan
Selain Fahri Hamzah, FGD juga menghadirkan sejumlah ahli dari beberapa bidang, di antaranya Direktur Eksekutif Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (PERPAMSI) Ashari Mardiono, Direktur PERKIM Bapennas Tri Dewi Virgiyanti, serta praktisi ekonomi syariah Imam Teguh Saptono.
Dalam paparannya, Ashari Mardiono mengungkapkan bahwa saat ini ada 436 perusahaan yang melayani 512 kota kabupaten yang melayani 67 juta. Sasaran Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) adalah 4K, yaitu kualitas, kuantitas, kuantitas, dan keterjangkauan. Dalam diagnosisnya, Ashari mengatakan ada tiga aspek mendasar yang menjadi permasalahan yang dihadapi perairminuman Indonesia. “Regulasi dan ketidakpastian peraturan menjadi masalah dalam tiga aspek, yaitu ketersediaan air baku, kelembagaan, dan pembiayaan,” ujar mantan Direktur Utama PDAM Surya Sembada.
Dalam hal ketersediaan air baku, masalah yang muncul menyangkut perizinan hingga konflik antarpengguna. Dalam hal kelembagaan, maraknya (booming) pelaku baru juga menjadi masalah. Terakhir dalam aspek pembiayaan, hal ini menyangkut penyelesaian utang, aset, tarif, dan investasi.
Di samping masalah legislasi tersebut di atas, pemerintah juga menghadapi kendala pendanaan untuk pembangunan bidang air minum. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dirjen Cipta Karya menyatakan bahwa kebutuhan biaya untuk menangani air minum 2015-2019 adalah sebesar Rp 253,9 triliun. Dengan ketersediaan dana APBN 2015-2019 sebesar Rp 33,9 triliun, maka perlu disusun skenario pesimis dimana ketersediaan dana lainnya juga mengikuti tren ketersediaan dana sebelumnya, yaitu hanya terpenuhi Rp 100,1 triliun.
Sementara itu, Tri Dewi Virgiyanti memaparkan, dalam jangka waktu lima tahun, pembangunan air minum membutuhkan Rp 275 triliun, sedangkan untuk sanitasi kebutuhannya adalah Rp 273,7 triliun. Dengan angka sebesar itu, Indonesia menjadi negara dengan proporsi pendanaan sektor air minum dan sanitasi terendah di dunia, yaitu kurang dari satu persen dari APBN atau sekita 0,2 persen dari PDB. “Oleh karenanya kami mendorong pola kolaborasi pendanaan lainnya seperti PNPM, dana desa yang selanjutnya adalah pendanaan dari kontribusi masyarakat berupa ZISWAF,” ujar Tri.
Model Wakaf Air
Menjawab permasalahan tersebut, praktisi ekonomi syariah Imam Teguh Saptono mengatakan, “Kalau PDAM butuh uang tak perlu berutang, nanti tawarkan saja kepada pewakaf, sehingga nanti ada sebagaian keuntungan akan diberikan mauquf alaih. Karena, mekanisme yang ada saat ini mekanisme pasar, siapa yang memiliki akses ke sumber air terbaik akan mempunyai akses kapital,” ujar Imam.
Dalam kesempatan tersebut, Imam memperkenalkan beberapa model waqaf mata air yang dapat dilakukan perbankan syariah. Tugas bank syariah adalah membuat program agar membuat semakin dekat nasabah dengan Allah, konsep itulah yang kemudian disebut “dakwah first, business follow”.
Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI Hayu Prabowo mengatakan, karena pentingnya masalah air, MUI menetapkan Fatwa MUI No. 001/MUKNAS-IX/MUI/2015 tentang Pendayagunaan Harta Zakat, Infaq, Sedekah dan Waqaf untuk Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Bagi Masyarakat. (Rsd)