Urus Air Minum, Pemerintah Harus Hadir

Catatan Erlan Hidayat, Ketua Umum PERPAMSI

Alkisah, saya diwawancara seorang reporter media cetak nasional terkait pelayanan air bersih atau air minum. Sebut saja namanya Mas Bardan. Untuk membantu pemahaman sang reporter, saya pun menjelaskan panjang lebar terkait bidang ini.

Saya mulai dengan menjelaskan mengenai kerja sama. Saya katakan, yang wajib kerja sama itu swastanya, mereka harus bekerja sama dengan BUMN atau BUMD-nya. Karena air itu urusan negara. Negara itu diwakilkan oleh Pemerintah-nya . Pemerintah-nya diwakilkan oleh BUMN atau BUMD-nya.

Jadi tidak boleh ada swasta melayani sendiri langsung ke masyarakat. Pemerintah harus hadir di dalam proses pelayanan publik di bidang air bersih atau air minum. Ini “wajib” hukumnya karena mulai dari UUD 1945 sudah begitu amanatnya. Sampai titik ini semuanya sudah benar. Para pemimpin negara ini mengaturnya. Ini yang harus kita pahami dan pegang sebagai prinsip.

Kemudian ada swasta yang bisa juga mengolah dan mengelola pelayanan air. Nah,  di sinilah UU mesti membatasi. Swasta tidak boleh langsung melayani ke publik, bisa menderita nanti publiknya. Karena itu swasta diwajibkan bekerja sama dengan BUMN atau BUMD di daerah pelayanannya. Ini juga prinsip yang harus dipegang teguh. Caranya bagaimana?

Caranya dengan mengendalikan izin pengambilan dan pemanfaatan air atau yang disebut SIPPA. Yang boleh memegang SIPPA adalah hanya BUMN atau BUMD atau sekarang ada BUMDES. Swasta tidak lagi. Ini untuk SPAM.

Kemudian kita harus jernih dalam melihat AMDK. AMDK itu bukan kegiatan pelayanan publik. Kita tidak boleh "syirik" dengan AMDK. Yang tidak boleh adalah jika perusahaan AMDK kemudian menguasai sumber-sumber air baku sepenuhnya, misalnya mata air-mata air  dikuasai sepenuhnya oleh swasta. Ini yang tidak boleh . Dan ini pula yang harus diatur oleh Undang Undang SDA nantinya.

AMDK itu kegiatan bisnis "logistik", bukan pelayanan publik. AMDK sudah menjadi lifestyle. Ini gejala di seluruh dunia karena kepraktisannya air menjadi benda ekonomi dan mudah dibawa ke sana ke mari. Karenanya disebut portable water.

Para pembuat kebijakan dan undang-undang juga harus memberikan ruangan kepada AMDK. Jangan serta merta dimusuhi. Sebenarnya, kan, bisa saja AMDK dibuat dari hasil produksi air PDAM misalnya. Kan tidak masalah, bisa diminum langsung juga kok. Contohnya sudah ada. Di Batam itu ada perusahaan air swasta yang melayani masyarakat sejak dahulu kala dan berkinerja bagus. Dulu muncul karena Batam tidak punya air dan pemerintah belum mampu investasi ketika itu.

Jadi swasta yang lakukan pelayanannya. Nah, salah satu pelanggan terbesar perusahaan air di Batam itu (PT ATB namanya) adalah perusahaan AMDK. Mereka membuat air kemasan dari produksi ATB. Kan tidak masalah kalau bisa begitu.  Soal perusahaan air AMDK itu untung berlipat ganda, itu kan bukan dosa yang harus kita hukum. Sekali lagi yang tidak boleh adalah jika AMDK kemudian menguasai sepenuhnya sumber air sehingga pelayanan kebutuhan air masyarakat jadi tidak dapat dilakukan karena semuanya dikuasai AMDK. Ya, ini diinvestarisir saja untuk kemudian diatur/ditertibkan. Tidak harus dimusuhi apalagi di-“bunuh”. Untuk apa?

Coba bayangkan kalau di sekitar kita tidak ada air kemasan, sementara PDAM belum sampai cakupan layanannya di area-area publik. Akan sangat menderita kan? Bayangkan kegiatan massal, atau demolah misalnya, kan massanya pasti perlu minum. Di sinilah AMDK berperan. Nggak salah kan kalau begitu..?

Jadi kesimpulannya adalah pertama, sumber-sumber air harus dikuasai negara. Kedua,

AMDK tidak boleh memonopoli sumber-sumber air baku. Ini tinggal soal penataan saja kan? AMDK pasti mau kok. Industri itu kan hanya memanfaatkan peluang menjadi bisnis. Ketiga, kerja sama swasta dengan BUMN/BUMD-ya tentu harus bolehlah. Tidak ada alasan kita melarang itu. Yang jelas BUMN/BUMD-nya tidak boleh "naif" dalam bekerja sama dengan swasta. Kelincahan swasta harus dimiliki juga oleh BUMN/BUMD-nya.

Kalau ditanya bagaimana kaitannya dengan contoh di DKI Jakarta dimana PAM Jaya bekerja sama dengan Palyja dan Aetra? Saya harus katakan bahwa saat ini bentuk kerja sama yang demikian sudah tidak bisa lagi. Itu kerja sama yang cacat sejak lahir. Inilah yang harus kita perbaiki. Tapi lagi-lagi, ingat bahwa tidak mesti kita memusuhi atau “membunuh” swastanya. Untuk apa? Bukankah kita yang saat dahulu menyepakati kerja sama itu? Kenapa dahulu disepakati? Tentu karena kebutuhan kita saat itu bisa dipenuhi dengan model kerja sama seperti itu.

Sekarang bagaimana? Sekarang ya nggak boleh lagi laah... Ketika hampir semua negara mulai memperbaiki pelayanan publiknya di bidang air dengan melakukan remunisipalisasi, masa kita masih bertahan dengan kontrak model lama? Kan "naif" sekali kalau kita begitu.

Dulu pendekatan kerja sama itu mungkin berjalan, tapi setelah jalan hampir 1 dekade, dunia mulai menyadari bahwa air itu tidak bisa diswastakan. Air itu harus merupakan kewajiban negara, dalam hal ini pemerintah dengan organ-organnya, dalam hal ini BUMN/BUMD. Bukan swasta...

Sehingga kesimpulan untuk poin ketiga adalah: boleh saja kerja sama dengan swasta tapi jangan model seperti Palyja dan Aetra lagi. Dosa kita dengan masyarakat.

Keempat, fungsi UU SDA itu ya untuk melindungi sumber-sumber air kita. Sebagai negara ketujuh yang sumber airnya terbesar di dunia, wajiblah kita punya UU SDA yang menjamin keadilan dan pemerataan. Tidak seperti sekarang, banyak mata air mati karena ulah kita sendiri, apakah kita itu swasta atau pemerintah. Tragis bukan?

Demikian Mas Bardan, sudah panjang dan lebar saya coba jelaskan. Semoga dapat menjadi tulisan yang positif yang menyadarkan pembacanya bahwa perjuangan masih panjang dan konsistensi antara “perkataan” dan “perbuatan” menjadi suatu syarat yang mutlak. Berhentilah mengeluh dan berlagak bego tapi juga berhenti bertindak berlagak pintar. Red