Program 100-0-100 Hanya Sebatas Jargon?
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 menyebutkan, capaian akses aman air minum di Tanah Air saat ini adalah sebesar 71,05 persen (perkotaan 83,2 persen dan perdesaan 58,83 persen). Untuk mencapai akses 100 persen di tahun 2019, ada gap 28,95 persen yang harus diatasi.
Saat ini sudah menginjak pertengahan 2018 atau kurang dari dua tahun waktu yang tersisa untuk mencapai target. Dari kacamata pemerintah, hal tersebut sebenarnya tidak sulit dicapai karena definisi “akses” dalam hal ini bukan hanya sebatas air perpipaan atau sumur terlindungi yang dimiliki setiap orang. Mudahnya orang menuju sungai atau sumber air lainnya juga masuk dalam definisi akses.
Sebagai catatan, target Millennium Development Goals (MDG) tahun 2015 sebesar 67,87 persen saja bisa dicapai pemerintah, bahkan lebih dari target yaitu di angka 68 persen lebih. Melihat capaian tersebut, target 100 persen kali ini nampakya juga akan berhasil dicapai.
Namun, yang menjadi pertanyaan dan kritik adalah komposisi dari 100 persen tersebut. Angka sebesar 71,05 persen yang dirilis BPS, terdiri dari akses untuk air minum dalam kemasan (AMDK), sumur terlindungi dan juga air tanah. Nah, yang perlu dicermati adalah trend dari komposisi tersebut. Salah satunya trend AMDK. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2002 hanya 0,86 persen rumah tangga yang menggunakan AMDK sebagai sumber air minum. Proporsi ini meningkat tajam dengan trend terus naik sampai dengan 31,3 persen di 2016.
Sebaliknya, sumur terlindungi justru menurun dari sebelumnya 33,38 persen di tahun 2000 hingga sekarang menjadi 21 persen. Sementara untuk akses perpipaan, naik tapi perlahan. Data tahun 2015 menunjukkan angka 10,87 persen untuk sumber air melalui perpipaan. Akses perpipaan ini tentu terkait dengan kinerja PDAM. Meningkatnya trend penggunaan AMDK, menurunnya sumber sumur terlindungi, serta lambatnya pertumbuhan akses air perpipaan, memunculkan pertanyaan terkait dengan kebijakan dan keseriusan pemerintah dalam sektor air minum. Termasuk program 100-0-100.
Pengamat air minum Priyono Salim mengkritik keras keseriusan pemerintah dalam mengelola air minum. Ia menyebut, program 100-0-100 tersebut hanya sebatas jargon saja. Menurutnya, dari dulu hingga sekarang tidak ada di Indonesia yang namanya orang mati karena air. “Air minum sekarang itu sebenarnya sudah 100 persen. Maka saya katakan program 100-0-100 itu hanya jargon saja,” kata Priyono Salim ketika diwawancarai Majalah Air Minum PERPAMSI di Jakarta, belum lama ini.
Lebih lanjut menurut sosok yang pernah berkiprah di Kementerian PU, air minum setidaknya sudah mengalami tiga kali memiliki jargon. Pertama, tahun 1980-an, waktu itu yang disebut dengan “Water Decade”. Yaitu sebuah program internasional yang juga dipakai Indonesia untuk memenuhi akses seluruh masyarakat dalam waktu satu dekade atau 10 tahun. Kemudian muncul jargon “Water for All” di tahun 1990-an. Konsepnya adalah air untuk semua.
Kemudian yang terakhir muncul MDG 2015 dan SDG 2030. Kedua target tersebut, lanjut Priyono, kemudian dirumuskan di Indonesia menjadi program 100-0-100. Menurutnya, ada kepentingan yang tidak banyak diketahui orang dari munculnya beberapa jargon tersebut.
“Semua jargon tersebut sebenarnya hanya perangkat untuk orang berbisnis di sini. Semua uang masuk ke Indonesia, happy, tapi sebagian besar kembali ke mereka. Yang mengerti ini tidak banyak,” tegas Priyono. DP