Hari Air Dunia 2022: Membuat yang Tak Terlihat Menjadi Tampak
Tema tersebut ditetapkan tiga tahun lalu. Tepatnya, dalam pertemuan ke-30 United Nations-Water (UN-Water) di Markas Besar Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian (International Fund for Agricultural Development/IFAD) di Roma, Italia. International Groundwater Resources Assessment Centre (IGRAC), sebagai pengusul tema ini, melihat betapa vitalnya sumber daya air tanah bagi kehidupan semesta. Ironisnya, ia seringkali luput dari perhatian manusia. Tidak tampak dan terpendam di kedalaman, seperti tempat asalnya berada.
Air tanah adalah sumber daya yang menyediakan hampir setengah dari semua air minum di seluruh dunia. Secara statistik, sekitar 40 persen air digunakan untuk pertanian beririgasi. Sekitar sepertiga air juga dibutuhkan industri. Dalam aspek alamiah, air tanah merupakan penopang ekosistem. Ia juga berfungsi mempertahankan aliran dasar sungai dan mencegah penurunan tanah serta intrusi air laut.
Bukan hanya itu, air tanah merupakan bagian penting dari proses adaptasi perubahan iklim dan penyambung dalam siklus hidrologi. Tentu, air tanah adalah solusi bagi masyarakat yang tak memiliki akses terhadap air bersih. Semua itu menegaskan betapa vitalnya air tanah. Karena itu, Direktur IGRAC Neno Kukuric menekankan pentingnya memikirkan persoalan air tanah di dalam kesadaran kolektif umat manusia.
Air tanah yang terancam
Pesan yang disampaikan Neno Kukiric sangat beralasan. Dari waktu ke waktu, air tanah terus-menerus menghadapi ancaman. Berbagai masalah serius tentang air tanah dilaporkan terjadi di banyak bagian dunia. Bahkan, ancaman tampak begitu nyata di wilayah-wilayah perkotaan/urban dengan jumlah penduduk padat.
Munculnya ancaman terhadap kondisi air tanah diyakini berawal dari meningkatnya populasi manusia. Kenyataan ini, langsung maupun tidak langsung, berpengaruh pada kondisi air tanah. Bukan hanya dari segi kualitas, melainkan juga kuantitas.
Fakta yang tidak terelakkan, bertambah pesatnya tingkat populasi manusia menghasilkan bertambah banyaknya limbah. Limbah yang dibuang kemudian mengakibatkan pencemaran air tanah. Umumnya, limbah yang berpengaruh pada air tanah di perkotaan adalah limbah rumah tangga (MCK) maupun limbah industri. Tentu, kontaminasi air tanah ini akan berbahaya jika dikonsumsi oleh manusia.
Untuk diketahui, standar yang ditetapkan World Health Organization (WHO), air yang dapat diminum harus memiliki nilai total dissolved solids (TDS) 0 – 1.000 mg/l. TDS adalah istilah untuk menandakan jumlah padatan terlarut atau konsentrasi jumlah ion kation (bermuatan positif) dan anion (bermuatan negatif) di dalam air.
Adanya pencemaran air tanah akibat limbah akan meningkatkan TDS. Kesadahan (kekerasan air dengan parameter tingginya tingkat mineral) dalam air juga meningkat. Kondisi ini amat membahayakan lingkungan dan kesehatan.
Di sisi lain, tingginya populasi dan aktivitas ekonomi manusia juga menyebabkan ekspolitasi besar-besaran terhadap air tanah. Hal ini pun tentu akan berdampak buruk bagi kondisi air tanah. Setidaknya, ada dua efek yang paling menonjol, yaitu intrusi air laut—khususnya di daerah-daerah pesisir—dan penurunan permukaan tanah. Contohnya di Jakarta. Terjadinya pengambilan air tanah dalam jumlah yang masif, mengakibatkan Ibu Kota mengalami penurunan muka tanah 5 - 12 cm/tahun.
Upaya pemerataan pembangunan yang dilakukan pemerintah patut diapresiasi. Namun, ini juga menyimpan potensi krisis air tanah yang siap mengancam jika tidak dibarengi upaya-upaya antisipasi yang memadai.
Alarm buat Indonesia
Cadangan air tanah Indonesia secara kalkulasi sebenarnya masih terbilang aman. Dalam sebuah kesempatan, Kepala Bidang Air Tanah, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalimantan Selatan Ali Mustofa mengatakan, total ketersediaan air di Indonesia sebesar 690 miliar meter kubik per tahun. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional sebesar 175 miliar meter kubik per tahun.
Namun, 70 persen cadangan air tersebut berada di Pulau Kalimantan dan Papua. Sementara, di wilayah-wilayah urban seperti Jawa dan sebagian Sumatera justru telah mengalami defisit air. Ini tentu harus menjadi alarm bagi Indonesia.
Kita tahu, saat ini pemerintah Indonesia tengah gencar melakukan pembangunan di hampir seluruh pelosok negeri, tidak hanya terjadi di Pulau Jawa. Pembangunannya mencakup jalan, baik tol maupun nontol, bandar udara, pelabuhan, sirkuit, pabrik-pabrik, hingga ibu kota negara (IKN) yang baru.
Upaya pemerataan pembangunan yang dilakukan pemerintah patut diapresiasi. Namun, ini juga menyimpan potensi krisis air tanah yang siap mengancam jika tidak dibarengi upaya-upaya antisipasi yang memadai. Pemerataan pembangunan niscaya akan menciptakan wilayah-wilayah urban baru. Sementara, seperti sudah dijelaskan, wilayah urban adalah tempat dimana air tanah terus mengalami ancaman dan degradasi.
Jakarta barangkali menjadi model yang pas untuk menggambarkan kondisi air tanah di wilayah urban di Indonesia. Dinas Lingkungan Hidup DKI mencatat, pada semester 1 tahun 2018, kondisi air tanah di 42 kecamatan DKI Jakarta mengalami pencemaran. Kategorinya tercemar berat dan sedang di beberapa kelurahannya. Bayangkan, Jakarta sendiri total memiliki 44 kecamatan. Artinya, hanya dua kecamatan yang air tanahnya tidak tercemar!
Ironis, karena sejatinya Indonesia sudah punya regulasi yang mengatur persoalan air tanah. Kepala Subbidang Pendayagunaan Air Tanah di Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL), Badan Geologi, Kementerian ESDM Budi Joko Purnomo beberapa waktu lalu mengatakan, regulasi itu bahkan sudah berkembang sejak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang.
Nyatanya, regulasi yang ada belum bisa menghindarkan air tanah dari kerusakan. Bukan hanya Jakarta, tapi di banyak tempat di Indonesia. “Kondisi air tanah di Indonesia menunjukkan banyak cekungan air tanah (CAT) yang sudah rusak. Beberapa CAT lain kondisinya juga semakin memburuk akibat ketergantungan pada air tanah yang tinggi,” ujar Budi, seperti dikutip dari lama Badan Geologi Kementerian ESDM, beberapa waktu lalu.
Karena itu, Hari Air Dunia 2022 menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran betapa pentingnya air tanah bagi kita. Kesadaran tersebut kemudian direpresentasikan dalam bentuk tanggung jawab dan aksi nyata menjaga dan merawat air tanah. Itu kewajiban kita.
Penulis: Rois Said (Kontributor Majalah Air Minum PERPAMSI)
Artikel ini sudah dimuat di MAM Edisi 318 Maret 2022