DPD RI Siap Menjadi Inisiator UU Air

DPD RI menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk meminta masukan atas pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang kembali berlaku pasca dibatalkannya UU Nomor 7 Tahun 2014 di Kantor DPD RI, Senayan, Selasa (26/4). RDP tersebut mengundang tiga perwakilan stakeholder air minum yang berasal dari PERPAMSI, Ditjen SDA Kementerian PUPR dan pakar dari Institute Pertanian Bogor (IPB). Mewakili PERPAMSI, hadir Wakil Ketua Umum PERPAMSI Muslih.

Dalam rapat selama tiga jam tersebut semuanya sepakat untuk segera disusun UU yang  baru tentang air. Selaku pimpinan, Parlindungan Purba akan menyampaikan sikap DPD ini kepada DPR RI untuk mendorong segera disusunnya beleid tersebut. “Saya kira semua di sini sepakat RUU ini harus segera disusun. Yang baik-baik dari UU sebelumnya bisa diambil. Kita maunya UU tentang air saja tidak perlu terlalu luas seperti sebelumnya atau sampai mengurusi irigasi seperti UU Tahun 1974. Intinya UU air saja, kita akan dukung itu,” tegas Parlindungan Purba selaku Ketua Komite II.

DPD juga siap menjadi inisiator dalam pembentukan RUU air nantinya. Sebelumnya, lanjut Purba, beberapa UU lahir sebagai bentuk respon yang tanggap dari DPD RI, seperti  RUU Daerah Istimewa Yogyakarata dan RUU Pemerintah Daerah. “Itu semua inisasi dari kita yang kemudian kita ajukan ke DPR. Pertemuan ini saya harap tidak berhenti di sini tapi akan kita adakan pertemuan lagi,” kata Anggota DPD dari Sumatera Utara tersebut.

Dalam RDP tersebut, pakar dari IPB Bunasor Sanim memberi masukan terkait landasan filosofis air. Menurutnya, dalam RUU nanti mau diarahkan kemana fungsi air tersebut, apakah air sebagai dimensi sosial, dimensi publik atau dimensi pasar atau market. “Dengan kondisi alam Indonesia yang kaya akan sumber air, dimensi sosial dan publik harus diutamakan dalam RUU nanti,” kata Guru Besar IPB tersebut.

Mewakili PERPAMSI, Muslih juga sepakat adanya RUU tentang air. Sosok yang juga Direktur Utama PDAM Bandarmasih berharap dalam RUU nanti bisa menekankan tanggung jawab pemerintah daerah selaku pemilik dalam mendukung kinerja air minum perpipaan, khususnya PDAM. Selain itu, lanjutnya, apabila nanti mengarah untuk tujuan publik dan sosial, faktanya di lapangan air baku yang didapat PDAM tidak gratis. Ada biaya yang ditarik baik itu oleh pajak pemda, pihak pengelola DAS dalam hal ini PJT I maupun II, juga pihak Perhutani.

“Pungutan yang dibebankan PDAM sampai lima jenis, rata-rata operator membayar Rp 500 per meter kubik untuk mendapatkan air baku. Hal-hal seperti itu harus menjadi pertimbangan dalam RUU nanti,” terang Muslih. (Dvt)