Dibutuhkan Kemauan Politik untuk Menciptakan Lingkungan Sehat
Oleh: Victor Sihite
Pengamat PDAM dan Wartawan Senior
Hari Lingkungan Hidup Dunia 5 Juni memang sudah lewat. Namun kiranya masih relevan untuk menyimaknya, yang bertujuan menciptakan lingkungan hidup yang sehat. Terlebih lagi dewasa ini bangsa kita sedang demam pemilihan kepala daerah (Pilkada), yang diharapkan mampu mengajak masyarakat bersama-sama menciptakan lingkungan hidup yang sehat.
Isu lingkungan hidup sudah mendunia sejak belasan tahun, namun sayang di Indonesia masih terkesan adem-ayem. Fakta menunjukkan, dari 400-an kota/kabupaten baru terbilang hitungan jari yang memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Tercatat, baru ada 11 anggota Forum Komunikasi Pengelola Air Limbah Permukiman (Forkalim), mewakili kota-kota yang sudah memiliki IPAL. Cakupan pelayanannya pun belum signifikan.
Boleh jadi para wali kota dan bupati 400-an kota/kabupaten tersebut tidak merasa perlu IPAL. Padahal sejatinya, air limbah, baik dari jamban, dari dapur, kamar mandi, industri, restoran, perkantoran, dan sebagainya, harus diolah sebelum boleh dialirkan ke badan-badan air. Yah, patutlah Indonesia “juara” ketiga terjorok di Asia Tenggara. Secara global tentu, juara ketiga terjorok dari 190-an negara. Wow!
Masalah sanitasi, yang identik dengan masalah kesehatan lingkungan, mutlak perlu ditempatkan pada posisi yang sepatutnya di antara berbagai urusan perkotaan. Sayangnya, kita masih menyepelekannya, tampak dari minimnya anggaran yang disiapkan pemerintah, pusat dan daerah.
Program yang Konkret
Semua pihak tentu sangat berkepentingan untuk hidup di lingkungan yang sehat. Maka mau tidak mau, kepala daerah dituntut punya program yang konkret menyangkut lingkungan hidup.
Tersebut di muka, negara kita peringkat ketiga terbawah di antara 10 negara di Asia Tenggara dalam urusan sanitasi. Lebih menyedihkan lagi, tiga dari 10 warga masih suka ber-BABS (Buang Air Besar Sembarangan). Tentu karena ketiadaan jamban keluarga.
Di kota metropolitan Jakarta saja menurut data 2008, baru sekitar 69 persen rumah tangga yang memiliki fasilitas sanitasi yang baik. Pernah pula tercatat, 300 dari 1.000 warga dalam setahun menderita diare yang dipicu oleh air tercemar yang berasal dari sumur, air tanah, maupun air ledeng.
Sumur penduduk, termasuk juga sumur bor, mudah dimasuki bakteri. Banyak wilayah hunian, saking padatnya tidak mungkin memiliki sumur yang steril karena sangat berdekatan dengan septic tank. Cairan dari septic tank itu mudah saja merembes ke mana-mana, termasuk ke sumur.
Kondisi lingkungan yang buruk menurut catatan WSP (Water and Sanitation Program)-Bank Dunia menyebutkan, buruknya sanitasi menyebabkan terjadinya 120 juta kasus penyakit dan 50.000 kematian prematur dalam setahun di Indonesia.
Perilaku sebagian masyarakat yang terbiasa membuang air limbah ke sungai atau alam terbuka, memang menjadi pintu masuk bagi berbagai jenis bakteri ke sumber air minum.
Tahun 2004 LSM Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) melakukan suatu studi dan mencatat, sebagian besar dari 48 sumur yang dipantau di Jakarta mengandung bakteri coliform dan fecal coliform. Disebutkan, persentase sumur yang telah melebihi baku mutu untuk parameter coliform di Jakarta 63 persen pada bulan Juni dan 67 persen pada bulan Oktober 2004.
Pusat Data dan Informasi Majalah Tempo pada tahun 2008 mencatat, dari 100.000 kasus kematian anak Balita di Indonesia, 31 persen disebabkan oleh diare. Diare kita tahu hampir selalu disebabkan bakteri coliform dan fecal coliform.
Empat Masalah
Ada empat masalah utama menyangkut sanitasi di Jakarta. Itu juga berlaku untuk berbagai kota lain. Keempat hal itu adalah persoalan air bersih, air limbah, sampah, dan drainase. Kondisinya buruk, terutama di kawasan hunian kumuh dan padat, yang tentu saja sangat mempengaruhi kualitas hidup warga.
Tak usah repot-repot melakukan penelitian dengan metode akademik. Berkunjung saja ke kawasan-kawasan kumuh, mudah diketahui bahwa kualitas hidup di sana sangat memprihatinkan. Di Jakarta saja mungkin ada ribuan gang sempit, di mana atap rumah di kedua sisi gang nyaris bertemu. Di gang seperti itu acap kelihatan ibu-ibu mencuci pakaian, perabotan dapur, bahkan memandikan anak-anak.
Airnya, kalau bukan air sumur biasa ya sumur pompa, berceceran. Drainase yang seadanya biasanya tidak mampu menampung air yang berasal dari rumah-rumah yang sesak, meluap menjadikan lingkungan tampak jorok. Kawasan-kawasan seperti itu memang jadi “surga” bagi bakteri-bakteri biang keladi diare penyebar maut di kalangan Balita itu. Dan bakteri, menurut Subekti, Ketua Forkalim dan Direktur Utama PAL Jaya, adalah urusan IPAL.
Selain kehidupan yang nyerempet-nyerempet ancaman bakteri pemicu penyakit diare tersebut, hal lain yang perlu dicatat, khususnya oleh para kepala daerah yang bakal jadi abdi masyarakat itu, temuan Economics of Sanitation Initiative di Asia Tenggara 2006. Indonesia diperkirakan menderita kerugian ekonomis sebesar US$ 6,3 miliar (lebih dari Rp 82 triliun) setahun karena sanitasi yang buruk.
Termasuk dalam kerugian sebesar itu, antara lain pengeluaran masyarakat untuk berobat, membeli air minum kemasan, dan juga terbuangnya kesempatan meraih penghasilan karena sakit-sakitan.
Pada tahun 2009 Pemerintah memang telah memetakan masalah sanitasi, roadmap sanitasi dengan target 330 kota. Salah satu tujuannya, menghilangkan kebiasaan masyarakat ber-BABS. Namun tampaknya, kemampuan SDM di sektor ini ditengarai kurang memadai. Di tingkat pemerintah daerah, ada kendala politis, kurang paham masalahnya, biaya minim.
Sementara itu di pihak masyarakat, animo sangat rendah karena urusan sanitasi masih sebatas “perlu tidak perlu”. Maklum, dalam benak masyarakat, ujung-ujungnya menyangkut biaya juga. Apalagi untuk warga hunian kumuh, yang mayoritas hidup paspasan.
Maka seperti pernah disarankan oleh sekelompok pakar sanitasi dari sejumlah lembaga bantuan internasional yang peduli dengan masalah sanitasi di berbagai negara berkembang, seluruh pemerintah daerah harus punya program konkret di sektor ini. Dalam hal ini memang sangat dibutuhkan faktor kemauan politis (political will) dan inovatif untuk menciptakan lingkungan hidup yang sehat.
Di mana ada kemauan, kata pepatah, pasti ada jalan. Jalannya memang bisa berliku-liku dan agak panjang. Tetapi itulah konsekuensi bagi para pemimpin, bupati, wali kota, dan gubernur.
Demam Sanitasi
Salah satu jalan yang perlu ditempuh adalah menciptakan semacam demam sanitasi, mirip dengan demam Piala Dunia, demam Asian Games, demam Pilkada, dan sebagainya. Sehingga perlu kampanye yang komprehensif bersifat pembelajaran agar masyarakat benar-benar menyadari bahwa masalah sanitasi setara dengan masalah ketersediaan air bersih. Jadi tak jauh dari masalah hidup-mati.
Sejalan dengan itu, Pemerintah perlu mencari sumber pembiayaan alternatif untuk “meringankan” beban masyarakat. Lagi-lagi di sini berlaku peribahasa, di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Jika masyarakat kurang mampu merasa berat untuk memikulnya, bagaimana kalau misalnya sebagian biaya itu ditagih secara tidak langsung dengan cara menggandengkannya dengan tagihan PBB alias Pajak Bumi dan Bangunan?
Yang penting masyarakat perlu diberi kesadaran tentang aturan main, bahwa siapa yang memproduksi bahan-bahan pencemar memang harus membayar untuk itu.
Di sisi lain, penegakan hukum yang selama ini masih lemah hendaknya segera dibenahi, supaya segala peraturan benar-benar dipatuhi, termasuk larangan ber-BABS, dan larangan membuang limbah atau sampah ke mana saja sesuka hati. Semoga dengan cara-cara cerdas seperti itu bangsa kita bisa naik kelas di bidang sanitasi. Dan yang lebih penting, kasus-kasus penyakit diare bisa ditekan dengan signifikan, yang pada gilirannya mengurangi tingkat kematian prematur, menjadikan masyarakat lebih sehat jasmani dan rohani, serta menghindari kerugian ekonomis yang begitu dahsyat seperti tersebut di muka.
Dimuat di Majalah Air Minum PERPAMSI, Rubrik Opini, Edisi No. 274 Bulan Juli 2018