Air Jakarta Tanggung Jawab Bersama
Dikatakan, saat ini hal yang penting dipikirkan adalah bagaimana menjaga ketersediaan air tetap terpenuhi. Mengingat kebutuhan air di Jakarta amat tinggi, sedangkan pasokan masih kurang. Menurutnya, sudah 18 tahun ini pasokan air baku untuk Jakarta tidak ditambah. Padahal, jumlah penduduk Jakarta terus bertambah setiap tahunnya. Sementara air bersih di Jakarta hanya dipasok dari Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat.
Kondisi itulah yang menjadi kendala dua operator penyediaan air bersih di Jakarta, yakni Palyja dan Aetra. “Masalah ini harus segera dipecahkan bersama-sama. Karena jika kita berpikir dan bekerja masing-masing tidak akan terpecahkan,” imbuhnya.
Erlan menyebut, air bersih yang dapat dikelola dan didistribusikan Palyja dan Aetra sat ini sebanyak 17.000 liter per detik. Sedangkan kebutuhan air bersih bagi warga Jakarta yang mencapai 10 juta jiwa itu sebanyak 26.100 liter per detik. Artinya, Jakarta masih kekurangan air bersih sekitar 9.100 liter per detik. Defisit ini ditambah persoalan klasik yang juga tak kalah pelik yakni masih tingginya angka kehilangan air di DKI yang mencapai 41 persen.
Di tempat yang sama pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo menekankan, Pemprov DKI melalui PAM Jaya harus segera mengupayakan langkah-langkah penyediaan air Jakarta. Hal ini untuk meminimalisir laju penggunaan air tanah yang semakin mengkhawatirkan. Sebab, bila tidak dilakukan cepat, pesisir pantai utara Jakarta bisa berpindah ke pusat kota dalam waktu dekat mengingat setiap tahunnya permukaan tanah menurun 5-10 cm per tahun.
Agus juga mengingatkan mengenai kerja sama PAM Jaya dengan kedua operatornya, Aetra dan Palyja. Dalam tujuh tahun ke depan, kerja sama PAM Jaya dengan Aetra dan Palyja akan berakhir. Artinya, mau tidak mau PAM Jaya harus mengelola air bersih sendiri mengingat peraturan pemerintah akhir tahun lalu menyebutkan bila pengelolaan air harus dilakukan oleh negara.
Selama ini, lanjut Agus, pengelolaan air bersih yang diserahkan kepada kedua operator swasta oleh Pemprov DKI belum optimal. Masih banyaknya kebocoran dan minimnya ketersediaan air membuat warga, bahkan kalangan industri masih menggunakan air tanah. “Masyarakat tentu menunggu terobosan seperti apa yang akan dilakukan dalam tujuh tahun ke depan,” pungkasnya. (AZ/DP)