50 Tahun PERPAMSI: Sebuah Refleksi Atas Eksistensi Asosiasi

Boleh dibilang, tanggal 7 dan 8 April 1972 merupakan momen epik bagi perusahaan-perusahaan air minum milik daerah. Ketika itu, sebanyak 50 petinggi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) seluruh Indonesia berkumpul di Kopeng, Jawa Tengah. Itulah pertama kalinya para pimpinan PDAM dari seluruh Indonesia melaksanakan Musyawarah Antar Perusahaan Air Minum (MAPAM).

Dalam musyawarah inilah kemudian dicetuskan berdirinya PERPAMSI, sehingga hingga kini tanggal 8 April dicatat sebagai hari ulang tahun (HUT) PERPAMSI. Dalam konteks ini, beberapa nama layak disebut sebagai penggagas. Mereka, antara lain, Direktur Utama (Dirut) PAM Jaya Irwin Nazir bersama Sahat Panjaitan, Dirut PDAM Kodya Bandung Achmad W.A., Dirut PDAM Kodya Semarang Soebiyanto, Dirut PDAM Yogyakarta Haryono, Dirut PDAM Kodya Surabaya Moch. Dahlan, dan Dirut PDAM Kodya Pontianak Pedi Nata Soewarna.

Gagasan untuk berkumpul dan membentuk organisasi, tentu bukan karena para direktur dan dirut itu kurang kerjaan. Bukan pula untuk sekadar ajang arisan layaknya dilakukan emak-emak sosialita. PERPAMSI dibentuk sebagai respons sekaligus ikhtiar para tukang ledeng untuk mencari solusi bersama atas banyaknya permasalahan PDAM yang tidak bisa diselesaikan di tingkat daerah.

Dengan adanya PERPAMSI sebagai wadah bersama, mereka berharap dapat membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh PDAM secara nasional, baik di tingkat pusat maupun daerah. Tekad itulah yang menjadi landasan berdirinya PERPAMSI.

 

PDAM dan masalah awal

Adanya perusahaan air minum perpipaan di Indonesia sebagai peninggalan pemerintah kolonial Belanda, itu fakta yang tak terbantahkan. Namun, patut diluruskan bahwa ini bukan sebuah warisan. Karena, Indonesia melakukan proses akuisisi atas perusahaan air minum perpipaan yang ditinggalkan Belanda seiring berakhirnya penjajahan.

Menurut catatan sejarah, Indonesia diharuskan membayar 4,5 miliar gulden kepada Kerajaan Belanda sebagai kompensasi untuk memiliki sarana air minum yang mereka tinggalkan. Dasar dari ketentuan ini adalah karena sarana-sarana tersebut sebagian merupakan investasi pihak swasta yang dilakukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Maka, melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), Pemerintah Indonesia membayar lunas kewajiban tersebut. Dari data yang ada, kala itu (masa akhir penjajahan) kapasitas produksi air minum di seluruh Indonesia sekitar 3.000 liter per detik. 

Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 tahun 1953 tentang Pelaksanaan Penyerahan sebagian urusan Pemerintah Pusat mengenai Pekerjaan Umum kepada Provinsi-provinsi serta Penegasan mengenai Pekerjaan Umum dari Daerah Otonomi Kabupaten, Kota Besar dan Kota Kecil di Pulau Jawa. Sejak itu, pengelolaan air minum pun diserahkan kepada pemerintah daerah.  Mayoritas sistem penyediaan air minum itu telah mengambil bentuk sebagai badan usaha milik daerah dengan nama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Diserahkannya tanggung jawab dari pemerintah pusat ke daerah membuat pengelolaan air minum menjadi lebih fokus. Hasilnya, hingga tahun 1968, kapasitas produksi air minum sudah mencapai 9.000 liter per detik dengan cakupan pelayanan di daerah perkotaan sebesar 19 persen. Namun, bukan berarti masalah air minum selesai. Justru, ini baru awal dari bermunculannya persoalan yang mendorong para tukang ledeng untuk membentuk PERPAMSI.

Ulang tahun ke-50 ini menjadi momentum yang tepat untuk kita bekerja lebih keras lagi, memperkuat kinerja, dan bersama-sama mewujudkan impian kita semua, yaitu membuat PERPAMSI lebih besar lagi - Lalu Ahmad Zaini, Ketua Umum PERPAMSI.

Bergerak maju

Pada awalnya, operasional PERPAMSI adalah bagian integral dari Badan Kerja Sama Antar-Kota Seluruh Indonesia (BKS-AKSI). Tetapi, mengingat urgensi, peranan, dan perkembangan organisasi PERPAMSI sendiri posisi itu berubah.

Hubungan antara PERPAMSI dan BKS-AKSI menjadi hubungan afiliasi koordinasi, dan organisasi PERPAMSI bersifat profesi  semi-official yang pembinaan umumnya dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri RI. Tonggak terjadinya perubahan ini adalah dilaksanakannya Musyawarah Antar-Kota Seluruh Indonesia (MAKSI) ke-5 di Surabaya pada bulan Januari 1975.

Sejak itu, PERPAMSI bisa lebih fokus untuk merealisasikan tujuan awal, yaitu membantu PDAM-PDAM di seluruh Indonesia menyelesaikan masalah yang dihadapi. Tidak terlalu berbeda dengan saat ini, sejak dulu pun permasalahan perairminuman berkisar di masalah teknis, administrasi, dan sumber daya manusia (SDM). Misalnya saja, masalah rendahnya cakupan pelayanan, ketersediaan air baku, dan hal-hal mendasar lainnya.

 

Bukan katak dalam tempurung

Dalam membantu PDAM, PERPAMSI tidak hanya berlaku seperti katak dalam tempurung, atau berkutat di dalam lingkungan tukang ledeng sendiri. Organisasi ini mulai menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, dari mulai akademisi/perguruan tinggi dalam dan luar negeri, serta komunitas-komunitas air minum di lingkup regional Asia maupun internasional.

Kerja sama dengan perguruan tinggi mulai ditetapkan sebagai bagian dari program kerja kepengurusan periode 1989-1993. Pada periode ini, PERPAMSI menjalin kerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Ada dua bentuk kerja samanya. Pertama, penjaringan lulusan berupa pemberian beasiswa kepada calon sarjana teknik lingkungan yang akan ditempatkan di PDAM seluruh Indonesia yang membutuhkan. Kedua, pendidikan di ITB selama tiga bulan bagi karyawan PDAM tingkat menengah. Selain itu, kerja sama juga dilakukan dengan LPEM Universitas Indonesia dalam hal penataran bidang manajemen keuangan untuk direksi PDAM.    

Masih di periode yang sama, PERPAMSI menjalin kerja sama dengan Asosiasi Perusahaan Air Minum di Belanda atau Vereniging van Waterbedrijven in Nederland (Vewin) dengan menyelenggarakan sejumlah kegiatan. Mulai dari gelaran seminar-seminar teknis dan administrasi bagi direksi PDAM, pengembangan bengkel meter air, hingga twinning programme antara PDAM dengan perusahaan air minum di Negeri Belanda.

Di tahun-tahun setelahnya, kerja sama serupa terus berlanjut dan bahkan berkembang semakin luas lagi. Di lingkup internasional, PERPAMSI mewakili keanggotaan Indonesia dalam forum International Water Supply Association (IWSA) dengan pengesahan dari Departemen Dalam Negeri RI.

Pada periode kepengurusan periode 1999-2002, eksistensi PERPAMSI seakan semakin “dilihat” oleh Pemerintah Pusat. Sebab, untuk pertama kalinya, Dewan Pengurus Pusat (DPP) PERPAMSI diterima menghadap Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Seiring dengan itu, permasalahan PDAM pun semakin mendapat perhatian yang lebih besar di tingkat nasional.

Di tingkat regional, PERPAMSI juga semakin memperluas pergaulan dengan menjadi anggota Southeast Asia Water Utilities Network (SEAWUN). Malah, Ketua Umum PERPAMSI periode 1999-2002, Kumala Siregar, dipercaya menjadi Presiden SEWAUN dengan berkantor di Hanoi, Vietnam.

Tentu bukan hanya itu kiprah PERPAMSI, baik di dalam maupun luar negeri. Masih banyak program dan kegiatan yang dilakukan, sesuai tujuan awal yaitu mengembangkan dan memajukan pengoperasian perusahaan air minum. Tidak hanya bersifat teknis-administratif, langkah-langkah strategis juga dilakukan dengan mendorong diterbitkannya regulasi-regulasi yang relevan terkait permasalahan-permasalahan PDAM.

Autokritik

Segala upaya yang telah dilakukan tidak serta-merta membuat PDAM di seluruh Indonesia sudah terbebas dari masalah. Namun, kerja PERPAMSI belum selesai. Masih banyak persoalan PDAM yang masih menunggu untuk diatasi.

Sebuah autokritik bahkan dilontarkan Direktur Lembaga Konsultasi YPTD Pamsi Kumala Siregar. Tanpa ragu-ragu, mantan Ketua Umum PERPAMSI itu menilai bahwa permasalahan air minum Indonesia seperti jalan di tempat dan itu-itu saja. Ia mencontohkan masalah air baku, tarif air, kualitas SDM yang belum meningkat signifikan, hingga perhatian sebagian kepala daerah yang belum optimal. Padahal, lanjut Kumala, dari sisi regulasi, Pemerintah Pusat sudah banyak mengeluarkan peraturan untuk mendukung terjadinya perbaikan dan pengembangan PDAM.

Benarkah kondisinya demikian? Barangkali kita tidak perlu menutup mata. Ya, apa yang disampaikan salah satu sesepuh PERPAMSI tersebut memang masih terjadi, meski mungkin tidak di semua tempat. Hal itu diakui juga oleh mantan Ketua Umum PERPAMSI Erlan Hidayat. Namun, dalam hal ini, bukan berarti PERPAMSI tidak melakukan apa-apa.

Menurut Erlan, kondisi seperti yang disampaikan oleh Kumala lebih disebabkan oleh situasi kontradiktif yang senantiasa dihadapi oleh PERPAMSI sendiri. Sebagai contoh, ketika Pemerintah Pusat menyusun draf Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang baru, peran PERPAMSI seakan-akan diabaikan.

“UU SDA saat ini, praktis lahir tanpa peran PERPAMSI. Asosiasi kita ini diundang dalam pembahasan, tetapi tidak didengar. Atau, PERPAMSI diundang kemudian rapatnya dibatalkan atau dipindah lokasinya. Mengapa bisa begitu? Tentu, karena kepentingan para sponsor UU SDA akan tereduksi ketika PERPAMSI menyuarakan aspirasinya. Beberapa rapat pembahasan draf UU itu bahkan dilaksanakan di kantor Kadin Indonesia,” ujar Erlan Hidayat.

Apa pun, begitulah dinamika kehidupan. Terpenting, bagaimana PERPAMSI bisa terus berkiprah, dan tetap menjadi wadah tempat bernaung PDAM/BUMD air minum seperti yang selalu didengungkan dalam “Hymne PERPAMSI”. Dalam hal ini, Ketua Umum PERPAMSI Lalu Ahmad Zaini mengajak semua pihak untuk meminimalkan perbedaan dan memperkuat kekompakan.

“Ulang tahun ke-50 ini menjadi momentum yang tepat untuk kita bekerja lebih keras lagi, memperkuat kinerja, dan bersama-sama mewujudkan impian kita semua, yaitu membuat PERPAMSI lebih besar lagi. Kita harus mengisi apa yang sudah diletakkan oleh pendahulu-pendahulu kita. Untuk itu, kita harus menjaga kekompakan di antara semua pihak, baik di jajaran sekretariat maupun seluruh anggota. Kurangi perbedaan-perbedaan yang ada, dan perkuat kebersamaan,“ tegas Zaini. Dirgahayu, PERPAMSI!

 

Penulis: Rois Said

Tulisan lengkap baca di Majalah Air Minum Edisi Nomor 319 April 2022

klik: http://majalahdigital.web.id/ (berlangganan)